PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN

PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN

Pendahuluan

Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR = Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"Benarkah pemikiran semacam itu? Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.

Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.

1. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan

Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.

2. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan

Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.

Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.

Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:

1. Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;

2. Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;

3. Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.

Oleh karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.

Hukum dan Perkembangan Masyarakat

Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:

Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.

Persis seperti itu pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.

Itulah karenanya peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari masyarakat primitif --> perbudakan --> feodal --> kapitalis --> masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya. Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum, dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat IndonesiaWalaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan, dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi: orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya, secara umum dapat kita simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:

1. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);

2. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia sangat merugikan kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.

Dalam satu hari saja keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai = Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp 12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.Tentu saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?Ketentuan mengenai Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh. Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan." (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh, tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan hukum.Selamat berjuang

Hak atas kekayaan intelektual

MEREK TERKENAL DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 6 bis KONVENSI PARIS

PENDAHULUAN

PENGANTAR

Sebagai Akibat dari perkembangan ekonomi dan meningkatnya tingkat kesejahteraan, maka pola konsumsi masyarakat di Indonesia pun mengalami perubahan. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.

Dalam mengkonsumsi barang, masyarakat yang telah maju dengan berbagai fasilitas tersebut, lebih mengutamakan produk dengan merek – merek asing demi untuk meningkatkan prestise di lingkungan sekitarnya. Melihat kenyataan seperti ini, dimana adanya kecenderungan lebih memilih barang dengan merek-merek luar negeri di banding barang dengan merek lokal, maka seperti di temui dalam banyak yurisprudensi, pengusaha Indonesia banyak yang kemudian melakukan pemalsuan merek-merek terkenal demi untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Mereka membuat produk sendiri lalu memberi merek luar negeri yang sudah terkenal. Perkembangan peniruan dan pembajakan merek-merek asing di Indonesia berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi yang menganut sistem ekonomi terbuka.

Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan bila terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Disini merek memegang peranan yang sangat penting dan memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai.

Merek

Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek, yang dimaksud dengan Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memilki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Mengenai Untuk apa merek itu, hal ini harus dilihat dari tujuan diciptakannya merek. Merek diciptakan untuk membedakan antara satu produk dengan produk yang lainnya terutama yang jenisnya sama. Adapun kegunaan merek adalah dalam hubungannya dengan ruang lingkupnya. Dengan kata lain, sejauh mana merek itu digunakan atau seberapa luasnya dunia merek itu. Dunia merek dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2001 dibatasi hanya dapat digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa. Jadi peranan merek hanya ada pada dunia perdagangan saja.

MEREK TERKENAL

Penentuan suatu merek sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh pihak asing saja tetapi juga merek-merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha nasional yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada umumnya.

Ukuran terkenal tidaknya suatu merek, selain mendasarkan pada pasal 6 bis Konvensi Paris, juga di dasarkan pada Undang-Undang merek yang berlaku atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili kasus tersebut.

Untuk suatu merek, rasanya akan sulit menentukan termasuk tingkatan manakah suatu merek tertentu dikelompokkan sebagai merek terkenal. Hal ini akan sangat bergantung pada produk yang dihasilkan dan digunakan pada umumnya oleh konsumen, atau produk dengan merek tertentu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Itu sebabnya pendekatan yang yang dilakukan untuk menentukan suatu merek terkenal didasarkan pada pasal 6 bis Konvensi Paris dan penjelasan pasal 4 Undang-Undang Merek.

Kriteria suatu merek itu terkenal dalam penjelasan pasal 4 Undang-Undang No 15 tahun 2001 Tentang Merek, hanya didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat mengenai merek atau nama tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan Undang-Undang merek tersebut, atau dalam prakteknya, untuk membuktikan suatu merek itu terkenal, sering diikuti dengan adanya promosi yang cukup sering dan digunakan secara efektif.

Bahkan kadang-kadang di ikuti dengan persyaratan bahwa merek itu telah didaftar di berbagai negara, misalnya minimal 3 negara.

Cara lain juga biasa dilakukan adalah didasarkan pada kepentingan subjektif suatu negara dengan mengirimkan data merek yang dimiliki oleh badan hukum yang terdapat dalam negara tersebut kepada kantor merek Indonesia. Kemudian oleh kantor merek, informasi tentang merek-merek itu di catat dalam “Daftar Umum Merek Terkenal” tanpa melalui pengecekan atau pemeriksaan yang teliti, walaupun mungkin merek itu sama sekali tidak dikenal atau digunakan di Indonesia oleh perusahaan tersebut.

PENDAFTARAN MEREK

Untuk membuat suatu merek agar nantinya dapat dipergunakan sesuai keguanaannya, maka yang perlu diperhatikan pertama-tama adalah apakah merek yang dibuat itu dapat didaftarkan atau tidak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Merek, yang mengatur tentang merek yang tidak dapat di daftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini:

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum;

b. tidak memiliki daya pembeda;

c. telah menjadi milik umum; atau

d. merupakan keterangan atau keterkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Ketentuan ini dianggap sebagai syarat absolut, yang tidak memungkinkan suatu merek didaftarkan, karena bersifat universal dan alasannya bersifat objektif yang harus diketahui dan dimengerti oleh setiap pemeriksa merek, dan atau karena ketentuan itu selalu tercantum dalam setiap perundang-undangan merek dibanyak negara, walau diatur dalam bahasa yang berbeda.

Pemalsuan merek di Indonesia banyak ragamnya, misalnya mempunyai puluhan merek yang terdaftar atas namanya dalam Daftar Umum Merek pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia, akan tetapi mereka tidak memproduksi barang dengan merek tersebut, tetapi hanya mendaftarkan merek tersebut.

Salah satu perkara yang menjadi Landmark Decisions bagi yurisprudensi Indonesia adalah adalah kasus merek Gucci dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 3485 K/Pdt/1992 antara Guccio Gucci melawan AT. Soetedjo Hadinyoto. Pada saat itu menurut Undang-Undang Merek No 21 tahun 1961, siapa yang mendaftarkan pertama kali suatu merek, dialah pemilik merek tersebut. Hanya saja pada kasus tersebut proses pendaftaran merek, oleh pihak Direktorat merek tidak terlebih dahulu meneliti apakah pendaftar merek itu merupakan pemilik sah atas merek bersangkutan.

Sistem pendaftaran semacam ini dikenal sebagai sistem yang pasif, dimana siapa saja dapat melakukan pendaftaran merek, tetapi tidak secara otomatis menciptakan sesuatu hak atas merek tersebut.

Fungsi pendaftaran merek adalah untuk memudahkan pembuktian tentang siapa yang merupakan pemakai pertama dari suatu merek. Sebagai pihak yang pertama kali mendaftarkan merek, ternyata belum terjamin kelangsungan hak-hak seseorang atas merek yang bersangkutan. Pendaftaran itu dapat saja menunjukkan bahwa ialah yang terbukti terlebih dahulu menggunakan merek itu. Sistem pendaftaran semacam ini dikenal dengan sistem pasif-deklaratif-negatif.

Pendaftaran merek merupakan suatu cara pengamanan oleh pemilik merek yang sesungguhnya, sekaligus perlindungan yang diberikan oleh negara. Di dalamya memuat substansi yang essensial berkenaan dengan proses pendaftaran itu, yaitu adanya tenggang waktu antara pelaksanaan pengajuan, penerimaan dan pengumuman. Ketiga tahap itu dapat mempengaruhi sikap pihak ketiga atas terdaftarnya suatu merek, sehingga terbuka kemungkinan untuk diadakannya pembatalan pendaftaran suatu merek.

Sejauh mana perlindungan hukum atas merek dapat tercermin dari cara bagaimana pendaftaran merek itu membawa implikasi terhadap pengakuan dan pembatalannya.

Wujud perlindungan lainnya dari negara terhadap pendaftaran adalah merek hanya dapat didaftarkan atas dasar permintaan yang diajukan pemilik merek yang beritikad baik. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Merek pasal 4 bahwa ‘merek tidak dapat didaftar atas permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik’.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, pemerintah Republik Indonesia telah beberapa kali merubah Undang-Undang merek, mulai dari Undang-Undang No. 21 tahun 1961, yang diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 dan terakhir di ubah dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pengawasan atas perlindungan hak merek di Indonesia dilakukan oleh Direktorat Merek Dierektorat Jederal Hak Atas Kekakayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pengawasan ini perlu terus dilakukan secara seksama dengan tetap memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada umumnya yang semakin komplek, termasuk bidang produksi barang dan jasa. Dalam pelaksanaan produksi tersebut ada kalanya terdapat hubungan hukum yang menimbulkan benturan kepentingan antara beberapa pihak terkait sehingga mengakibatkan suatu sengketa.

Dari berbagai kasus di bidang merek, yang sering mengemuka adalah pemakaian merek yang lebih dahulu punya nama atas suatu produksi barang dan jasa secara sah. Kecurangan tersebut dilakukan dengan cara menjiplak barang-barang merek terkenal, baik untuk barang sejenis maupun untuk barang yang berlainan jenis, yakni hanya dengan memakai merek saja. Melalui pemakaian merek terkenal ini seakan-akan pihak yang melakukan kecurangan telah membonceng nama baik produsen lain sebagai pemegang merek terkenal.

Wujud kecurangan ini bukan hanya penjiplakan label barang produk luar negeri, melainkan juga menggunakan merek terkenal. Di pasaran sering di temui barang yang meniru dan menyerupai merek terkenal yang dapat menimbulkan kekeliruan bagi masyarakat tentang kebenaran barang yang di belinya tersebut. Akibat dari tindakan ini menimbulkan kerugian baik bagi pemilik merek sesungguhnya, maupun bagi konsumen karena telah tertipu atas kualitas barang yang telah dibelinya tersebut.

Dalam konstruksi hukum, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum (on rechmatige daad), yang oleh yurisprudensi di Indonesia diartikan secara luas, yaitu setiap perbuatan yang dipandang sebagai tidak patut, tidak wajar, atau tidak putus dalam pergaulan masyarakat. Sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dapat dituntut tanggung jawab yang di realisasikan berupa penggantian kerugian di hadapan pengadilan dan perintah untuk menghentikan pemakaian merek yang dipandang melanggar hukum.

MEREK DI INDONESIA DI KAITKAN DENGAN KONVENSI PARIS

Prinsip penting yang dijadikan sebagai pedoman berkenaan dengan proses pendaftaran merek adalah perlunya itikad baik atau good faith dari pendaftar. Dengan prinsip ini hanya pendaftar yang beritikad baiklah yang akan mendapat perlindungan hukum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa direktorat merek Depkeh RI juga berkewajiban secara aktif untuk menolak suatu pendaftran merek bilamana secara nyata ditemukan adanya kemiripan atau peniruan dengan suatu merek yang telah terlebih dahulu didaftarkan dengan itikad baik.

Dengan demikian unsur formalitas tenggang waktu pendaftaran dalam penerapannya harus memperhatikan pula motivasi dan situasi dari pihak yang mengajukan pendaftaran dengan pertimbangan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut antara lain good faith, reciprocity dan right priority.

Di berlakukannya prinsip-prinsip hukum tersebut berarti pihak Indonesia secara konsekuen telah menerapkan kerangka hukum yang termuat dalam Uni Paris Convention, London Convention, dan Stockholm Act 1967, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Indonesia No. 24 tahun 1979. Untuk itulah badan peradilan di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bidang merek, baik yang berskala nasional maupun yang berskala internasional harus secara tepat menerapkan patokan – patokan dari prinsip-prinsip hukum tersebut.

Hal ini terbukti darai putusan Mahkamah Agung RI No. 3485K/Pdt/1992 dalam perkara GUCCI, dimana Mahkamah Agung RI secara tegas menerapkan pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Paris, yang mengatur bahwa tuntutan pembatalan merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik , tidak terikat tenggang waktu. Pertimbangan hukum ini selanjutnya ditindak lanjuti secara nyata oleh pemerintah dala rangka melengkapi pelaksanaan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-HC.0201 Tahun 1991, yang menegaskan bahwa permohonan pendaftran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun pada pada keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain, ditolak untuk didaftar dalam daftar umum.

Salah satu inovasi baru dari isi keputusan menteri tersebut adalah semakin di pertegas bahwa melalui pendaftaran akan menciptakan suatu hak atas merek yang bersangkutan, sedangkan pihak lain tidak dibenarkan untuk mempergunakannya.

Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari orang lain yang tidak berhak atas penggunaan merek dari luar negeri yakni dengan jalan tidak menerima pendaftaran yang dilakukan oleh pihak-pihak di Indonesia terhadap merek yang sudah terkenal di luar negeri. Pada keadaan tertentu adakalanya pemilik mereknya sendiri lalai atau belum mendaftarkan mereknya di Indonesia, dengan resiko mereknya telah didaftar oleh pihak lain untuk produksinya sendiri.

Pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Uni Paris memuat perlindungan hukum kepada pemilik merek, yang menyatakan bahwa tidak ada jangka waktu yang ditentukan untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan tidak dengan itikad baik (mendaftarkan merek yang telah ada) atau larangan untuk memakai merek terdaftar tersebut jikalau dipakainya dengan itikad buruk.

Berdasarkan persoalan-persoalan yang muncul dalam sengketa, timbul prinsip-prinsip hukum yang dapat diambil yang kemudian diselaraskan dengan konvensi – konvensi dibidang merek untuk akhirnya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang merek di Indonesia.

Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain atau milki badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai penetapan prinsip dari pasal 4 ayat 1 Konvensi Uni Paris mengenai Principle Right of Priority (hak prioritas).

Pengertian hak prioritas menurut hukum adalah hak utama untuk dilakukan, untuk itu apabila orang asing mengajukan permintaan pendaftaran merek di Indonesia, untuk memperoleh “filling data” pemilik merek yang sama dengan cara memberikan perlindungan kepadanya berupa hak prioritas untuk didaftarkan. Tujuan utama pemberian hak prioritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran, yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia dari pembajakan atau pemboncengan.

Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama harus diberi rangka utama kepada orang asing.

Undang-Undang Merek secara tegas mengatur pendaftaran merek dengan hak prioritas (pasal 11 s-d pasal 12). Dengan demikian acuan penerapan pendaftaran merek dengan hak prioritas adalah antara lain:

a. Perlakuan pemberian perlindungan hukum yang sama.

Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap pemilik merek orang asing, sebagaimana perlakuan perlindungan yang diberikan kepada pemilik merek warga negara sendiri.

b. Berdasarkan asas Resiprositas.

Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya kesediaan, kerelaan memberi perlindungan yang sama terhadap pelayanan permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus berdasarkan asas timbal balik.

Asas Resiprositas dengan sendirinya bercorak multilateral terhadap semua negara anggota peserta Konevensi Paris, artinya jika pemohon bukan dari negara anggota peserta Konvensi Paris, kantor mereka harus menolak pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas Resiprositas .

ANALISA KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

NO. 3485 K /PDT/1992 PERKARA MEREK GUCCI

POSISI KASUS

I. Penggugat : Guccio Gucci SPA

II. Tergugat : 1. AT. Soetedjo Hadinyo

2. Direktorat Merek Departemen Kehakiman RI.

III. Duduk Perkara

Merek GUCCI sebagai produsen parfum, pakaian, tas, sabuk dan lain-lain adalah milik penggugat. Tergugat 1 adalah produsen peralatan cat dan bahan kimia dengan menggunakan merek GUCCI pula di Indonesia dan didaftarkannya merek tersebut pada kantor merek yang diumumkan pada tanggal 27 Juli 1988 dengan Nomor 232.797. Sebagai pihak yang merasa pemilik dan pemegang merek GUCCI yang produksinya telah dikenal dan diakui dunia sejak lama, akhirnya penggugat mengajukan gugatan pada tanggal 27 Juli 1988 kepada tergugat 1dan meminta pengadilan membatalkan pendaftaran merek tergugat.

Dasar gugatan adalah bahwa penggugat keberatan atas pendaftaran merek oleh tergugat 1 karena pemakaian merek yang mengandung nama perniagaan orang lain, dapat digolongkan sebagai bertentangan dengan makna Undang-Undang No. 21 tahun 1961 tentang Merek.

Perngadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusan No. 377/PDT.GD/1991.PK Jkt.Pst, menolak gugatan dan menyatakan menerima eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2, yang mendalilkan gugatan yang diajukan telah melewati tenggang waktu permohonan pembatalan selama 9 bulan sejak diumumkan dalam berita negara seperti diatur dalam pasal 10 ayat 1 UU. No. 21 tahun 1961.

Pada tingkat Kasasi, penggugat mengajukan dasar gugatan bahwa sebagaimana dapat disimak dari beberapa putusan MARI dihubungkan dengan ketentuan pasal 6 bis ayat (3) Konvensi Paris, penggunaan merek terkenal milik orang lain adalah tidak mengenal tenggang waktu tersebut. Selain itu, sebelumnya penggugat asalnya telah mendaftarkan mereknya sejak tanggal 5 Desember 1980.

Mahkamah Agung dalam putusannya akhirnya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menerima kasasi yang diajukan oleh penggugat asal.

ANALISA KASUS

Putusan MARI yang dikeluarkan terhadap kasus merek GUCCI jatuh pada tanggal 25 November 1995. Sementara itu meskipun UU. No. 19 Tahun 1992 tentang Merek telah mulai berlaku tanggal 1 april 1993, tetapi untuk perkara ini Mahkamah Agung belum mengacu pada Undang-Undang tersebut, karena Undang-Undang tersebut karena Undang-Undang No. 19 Tahu 1992 belum memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Uni Paris. Namun demikian, kasus ini telah menjadi landmark decision yang kemudian ternyata di akomodasi dalam UU . No. 14 tahun 1997 tentang Merek, seperti dinyatakan dalam pasal 6 dan pasal 56 ayat 1.

Dalam hal pendaftaran merek yang dilakukan dengan itikad tidak baik, masalah tenggang waktu oleh Mahkamah Agung tidak diberlakukan secara mutlak, seperti pada Putusan MARI No. 3027K/SIP/1981, tentang Seven UP. Dengan demikian itikad baik ini dasar utama dari keseluruhan Undang-Undang merek yang baru, sehingga jika tidak beritikad baik, walaupun seseorang menjadi pemakai pertama atau pendaftar pertama, maka tidak akan di berikan perlindungan .

PENUTUP

Undang-Undang merek telah di berlakukan di Indonesia sejak awal abad kedua puluh ketika Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan Reglement Industrieele Eigendom pada tahun 1912, yang memberikan perlindungan kepada hak milik industrial, tidak hanya terhadap merek tetapi juga terhadap paten dan desain. Sistem hukum yang dianut saat itu adalah first to use principle (sistem pemakai pertama) dan sistem itu masih tetap dilaksanakan di Indonesia hingga memasuki masa kemerdekaan.

Pada tahun 1961 Undang-Undang Belanda tersebut diganti dengan UU No. 21 tahun 1961. Pada masa ini sistem pemakai pertama tetap dianut. Baru pada tahun 1992 saat Undang-Undang merek baru yaitu UU No. 19 Tahun 1992 di berlakukan, maka sistem hukum di bidang merek juga berubah. Sistem pemakai pertama tidak lagi berlaku, dan digantikan dengan sistem pendaftar pertama. Berturut-turut Undang-Undang ini di ganti dengan UU No. 14 tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 15 tahun 2001.

Indonesia meratifikasi beberapa konvensi internasional, diantaranya adalah Konvensi Paris melalui Kepres No. 15 tahun 1997 dan Trademark Law Treaty melalui Kepres No. 17 Tahun 1997. Ratifikasi tersebut menerima seluruh pasal-pasal dalam konvensi itu. Dengan demikian diharapkan perlindungan terhadap merek terkenal akan semakin baik.

Perlindungan hukum atas hak merek yang dimiliki oleh seseorang perlu diberikan oleh pemerintah kepada pemilik yang sah secara tepat, karena dampak dari yang ditimbulkan dari pembajakan dapat merugikan berbagai pihak. Bagi pemegang merek yang sesungguhnya jelas dapat mengurangi pemasukan atau bilamana barang yang diproduksi pembajak tidak memadai kualitasnya, sehingga tidak diterima konsumen di pasaran maka nama baik merek itu akan tercemar. Begitu juga konsumen akan kehilangan jaminan atas kualitas barang yang di belinya.

Penyediaan perangkat hukum dibidang merek yang didukung oleh sumber daya manusia yang handal adalah suatu keniscayaan yang harus selalu di miliki oleh pemerintah. Perlindungan hukum terhadap merek, juga merupakan jaminan kepastian hukum di bidang ekonomi, harus senantiasa mendapat perhatian, demi untuk menjaga hubungan internasional Indonesia, terutama untuk perdagangan internasional.

NEBIS IN IDEM

NEBIS IN IDEM

Bahwa putusan sela ( interim meascure ) adalah merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum hakim memeriksa pokok perkara baik perkara pidana maupun perkara perdata. Dalam hal ini penulis membatasi diri terhadap putusan sela dalam perkara pidana. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi yang dibuat Penasihat Hukum Terdakwa biasanya memegang peranan penting untuk dijatuhkannya putusan sela oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Terhadap adanya Eksepsi Terdakwa atau Penasihat Hukumnya Hakim Wajib memberikan “putusan sela”, apakah menerima atau menolak eksepsi tersebut. Bentuk dan sifat putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam hal adanya Eksepsi dari Terdakwa atau Penasihat Hukumnya terdiri dari tiga macam yaitu : Penetapan, Putusan Sela, dan Putusan Akhir. Putusan atas Eksepsi dapat berbentuk Penetapan adalah dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadili kemudian melimpahkannya kepada Pengadilan lainnya. Sedangkan suatu putusan lainnya dapat berbentuk putusan sela yang berarti putusan tersebut dijatuhkan sebelum dijatuhkannya putusan akhir. Dapat juga suatu putusan sela bersifat dan berbentuk suatu putusan akhir, yang berarti bahwa pemeriksaan perkara tersebut dinyatakan berhenti. Putusan ini mengandung konsekuensi berlakunya asas Nebis In Idem. (vide : Surat Ederan MARI No.3 Tahun 2002 tertanggal 30 Januari 2002 tentang Nebis In Idem ). Konsekuensi serta akibat hukum yang timbul terhadap masing-masing bentuk putusan sela diatas tentunya berbeda-beda. Dalam hal putusan sela berbentuk penetapan, maka Jaksa / Penuntut umum dapat langsung mengajukan perkaranya ke Pengadilan yang ditetapkan berwenang mengadili. Sedangkan dalam hal putusan tersebut berbentuk Putusan sela berisi penolakan terhadap Eksepsi maka Hakim meneruskan perkara tersebut dengan memerintahkan Jaksa / Penuntut Umum segera mengajukan alat-alat buktinya. Namun jika putusan sela tersebut berbentuk putusan akhir, maka upaya yang dapat dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum adalah melakukan verzet, banding atau kasasi dilihat dari isi putusannya. Bahwa putusan sela adalah meruapakan suatu mekanisme dalam proses peradilan di negara kita yang harus dijunjung tinggi keberadaan serta fungsinya. Penulis menilai bahwa putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat suatu dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntututan datau dalam melakukan suatu penyidikan. Dalam praktik ada putusan sela yang menyatakan bahwa tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa / Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima dikarenakan surat dakwaannya dibuat berdasarkan penyidikan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, antara lain penyidikan dalam perkara pidana yang diancam dengan hukuman mati, 15 tahun penjara atau diancam dengan pidana 5 tahun penjara atau lebih bagi yang tidak mampu, dimana tersangkanya dalam proses penyidikannya tidak didampingi oleh Penasihat Hukum (Advokat), karena Pejabat yang bersangkutan tidak melakukan kewajibannya menunjuk Penasehat Hukum bagi Tersangka/ Terdakwa, maka hasil penyidikan dalam perkara ini harus dinyatakan batal demi hukum sekalipun penyidik telah mendapatkan surat pernyataan tersangka yang tidak bersedia menggunakan penasihat hukum. Bahwa kalau ada yang demikian ini maka penyidik sesungguhnya telah melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP dan hasil penyidikan (BAP) terhadap perkara ini jika ada eksepsi dari Advokat/Pembela, Hakim harus berani menyatakan dalam putusan selanya, hasil penyidikan (BAP) terhadap diri tersangka Batal Demi Hukum. Terhadap kasus tersebut Jaksa / Penuntut umum tidak bisa langsung membuat dakwaan baru dan kemudian mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan, namun upaya hukum terhadap perkara tersebut JPU dapat melakukan upaya hukum banding dan selanjutnya kasasi bukan melakukan upaya hukum verzet. Ada juga suatu putusan sela tersebut adalah merupakan putusan akhir dari perkara tersebut yang telah bersifat final. Hal ini dapat terjadi jika ada penerimaan Eksepsi dalam hal kewenangan menuntut gugur, serta lepas dari segala tuntutan, karena mengandung sengketa perdata. Bahwa dalam hal ini jika kemudian perkara tersebut dimajukan lagi oleh Jaksa / Penuntut Umum maka berlaku nebis in idem. Adapun terhadap pendapat kalangan Akademisi yang mengatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam unsur nebis in idem adalah terdakwa telah dijatuhi putusan berdasarkan pokok perkaranya yang isi putusannya berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan adalah kurang tepat atau kurang lengkap, karena sesungguhnya ada eksepsi yang belum menyangkut pokok perkara dan putusannya bersifat final serta dalam putusan tersebut berlaku asas nebis in idem, yaitu antara lain yang menyangkut eksepsi “kewenangan mengadili” ( exseption of incompetency ) baik absolut maupun relatif dan dalam eksepsi “kewenangan menuntut, gugur”, yaitu ; 1) eksepsi judecate ( pasal 76 KUHP) 2), eksepsi in tempores (pasal 78 KUHP), dan 3).terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP). Oleh karena itu putusan sela atas adanya Eksepsi dari Penasihat Hukum itu sangat perlu, dan hal tersebut merupakan mekanisme tersendiri bagi para pencarikeadilan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Jika ada suatu perkara yang ternyata berhenti karena adanya putusan sela yang mengabulkan eksepsi dari Penasihat Hukum, dimana kriteria isi putusan sela telah memenuhi syarat diberlakukannya asas Nebis In Idem maka hal tersebut harus dipandang bahwa kepastian hukum terhadap perkara tersebut adalah sampai disitu. Kenyataan ini tidak perlu dihubungkan dengan telah dilanggarnya asas perlindungan kepentingan umum, yang terkesan membiarkan pelakunya bebas tanpa diajukan ke sidang pengadilan

Penyelesaian Perburuhan dan Hak-haknya

TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN PADA

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

_______________________________________

A. PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL

Pengadilan Hubungan Industrial (Pengadilan HI) merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum, yang dibentuk pada Pengadilan Negeri dan pada Mahkamah

Agung. Tugas dan berwenang Pengadilan HI, memeriksa dan memutus:

1) ditingkat pertama mengenai perselisihan:

a) hak, dan

b) PHK, dan

2) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan:

a) kepentingan, dan

b) antar SP/SB dalam satu perusahaan

(Pasal 1 butir 17, Pasal 55, dan 56 UUPHI).

Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) melalui Pengadilan HI yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya, dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan PHK dapat langsung dimintakan kasasi ke MA.

Sedangkan putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan, merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke MA.

Dalam UUPPHI ditentukan bahwa, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan HI adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UUPPHI.

B. KELEMBAGAAN

Untuk pertama kali dibentuk Pengadilan HI pada setiap PN Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden dalam waktu 6 bulan sesudah UUPHI berlaku, egera dibentuk Pengadilan HI setempat.

Untuk DKI Jakarta yang memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan HI yang dibentuk untuk pertama kali adalah Pengadilan HI pada PN Jakarta Pusat (Pasal 59 UUPPHI).

Dalam hal di ibukota provinsi terdapat PN Kota dan PN Kabupaten, maka Pengadilan HI menjadi bagian PN Kota.

Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, PPHI melalui Pengadilan HI, dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi.

Pengadilan HI yang memeriksa dan mengadili PPHI dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan tiga orang, yakni seorang hakim PN dan dua orang hakim ad-hoc yang pengangkatan-nya diusulkan oleh SP dan OP.

C. PROSES PENYELESAIAN PERKARA

Proses penyelesaian perkara pada tingkat Pengadilan Negeri seperti berikut ini.

1.Pencatatan Gugatan

Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan HI.

Gugatan diajukan kepada Pengadilan HI yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja bekerja. Untuk gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat, dapat diajukan secara kolektif Dengan memberikan kuasa khusus.

Sampai pada tingkat pencacatan gugatan ini, penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya. Surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, dilampiri dengan risalah penyelesaian, atau bukti bahwa upaya perundingan telah dilakukan, namun tidak berhasil, sebagai bukti telah dilakukan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Karena gugatan yang Tidak dilampiri dengan risalah penyelesaian akan dikembalikan kepada penggugat (Pasal 83 ayat (1) UUPPHI).

Surat gugatan yang telah lengkap dimaksud, didaftarkan pada Sub Kepaniteraan Pengadilan HI setempat.

Panitera atau panitera pengganti mencatat surat gugatan dimaksud dalam daftar khusus yang memuat:

a) nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak,

b) pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan, dan

c) dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh penggugat

(Pasal 75 ayat (1) butir b dan Pasal 83 ayat (2) UUPPHI).

Panitera muda sub kepaniteran Pengadilan HI, akan meneliti berkas perkara dan menetapkan rencana biaya perkara yang Harus dibayar oleh penggugat sebagai panjar. Selanjutnya, penggugat/para penggugat akan dimintai panjar biaya perkara, guna kelancaran pelaksanaan jalannya persidangan, seperti biaya pemanggilan para pihak, saksi, atau pemberitahuan lainnya oleh juru sita. Namun, apabila gugatannya bernilai kurang dari 150 juta rupiah, penggugat tidak dikenakan biaya perkara. Semua biaya perkara, termasuk biaya eksekusi, terhadap gugatan yang nilainya kurang dari 150 juta rupiah tidak dibebankan kepada para pihak yang berperkara (Pasal 58 UUPPHI)

.

a. Pemanggilan Para Pihak

Setelah hari sidang pertama ditetapkan, selanjutnya dilakukan pemanggilan para pihak (Relaas, Risalah Panggilan, atau Exploit). Tenggang waktu pemanggilan dengan penetapan hari sdang minimal tersedia tiga hari kosong. Dalam perkara perdata umum, pemanggilan dilakukan oleh jurusita.

Panggilan disampaikan kepada para pihak langsung di tempat tinggalnya masing-masing dengan dibuat berita acara yang ditandatangi oleh penerima surat panggilan dan jurusita.

Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala kelurahan atau kepala desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.

Penerimaan surat panggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan Dengan tanda penerimaan. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan HI yang memeriksa perkaranya (Pasal 89 ayat (2) s/d (5) UUPPHI).

b. Sita jaminan

Pada prakteknya, pihak penggugat, dalam gugatannya selalu mengajukan permohonan Untuk dilakukan sita jaminan. Permohonan sita dilakukan karena adanya keadaan mendesak, sehingga diperlukan tindakan sedemikian rupa agar tergugat tidak melakukan perbuatan curang yang akan dapat merugikan penggugat, dengan cara mengalihkan, menjual ataupun memindahtangankan barang yang dituntut untuk dijadikan jaminan, kepada orang lain. Sita jaminan dapat berupa Sita Revindikator (Revindicatoir Beslag) dan Sita Konservator (Conservatoir Beslag) (Pasal 226, 227 HIR dan Pasal 260, 261 RBg)

Pengajuan permohonan sita jaminan dalam gugatan PPHI juga dapat dilakukan.

Khususnya apabila ada tuntutan agar majelis hakim menjatuhkan putusan sela. Apabila selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung ditetapkan adanya putusan sela dan tidak dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang dapat memerintahkan sita jaminan dalam Sebuah penetapan pengadilan HI.

Putusan sela dan penetapan sita jaminan, tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat

digunakan upaya hukum (Pasal 96 ayat (3) UUPPHI)

.

1)Sita Revindikator

Permintaan sita revindikator dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Tujuan penyitaan revindikator dimaksudkan agar penggugat dapat memperoleh haknya kembali atas barangnya yang berada pada tangan tergugat. Sita revindikator hanya dapat dilakukan terhadap barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat. Apabila hendak dilakukan permohonan sita revindikator, supaya dicantumkan dengan dengan jelas, tegas dan terperinci jenis barang yang akan disita, dengan penyebutan ciri-cirinya. Permohonan sita revindikator yang dikabulkan, tidak memindahkan barangnya secara fisik, karena barang yang dikabulkan untuk disita tetap berada ditangan tergugat. Penyitaan itu dilakukan hanya dalam bentuk penepatan oleh majelis hakim, yang menangani perkara dimaksud. Penyitaannya dilakukan oleh panitera/jurusita PN, dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila dalam sidang selanjutnya gugatan penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, maka amar putusan hakim tentang sita revindikator dinyatakan syah dan berharga, sehingga tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat. Bila gugatan ditolak, sita revindikator akan diangkat/dicabut.

Dalam hal gugatan dikabulkan sebahagian, sita revindikator hanya untuk barang-barang yang dikabulkan dan yang dinyatakan syah dan berharga, sedangkan untuk barang lainnya perintah penyitaannya akan diangkat.

2) Sita Konsevator

Permintaan sita konservator juga dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Tujuan penyitaan konservator dimaksudkan agar tergugat tidak dapat lagi melakukan perbuatan untuk menghilangkan barang guna memenuhi kewajibannya kepada penggugat. Sita konservator dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat. Tidak boleh dilakukan sita konservator atas barang-barang yang dipergunakan untuk menjalankan perusahaan tergugat (Putusan MA Nomor: 206K/Sip/1955).

Apabila hendak dilakukan permohonan sita konservator, terhadap barang tidak bergerak milik tergugat, beberupa tanah, supaya dicantumkan dengan dengan jelas, tegas dan terperinci luas dan batasnya, dan tanah dimaksud benar-benar dikuasai oleh tergugat.

Sebagai akibat dari penyitaan dimaksud, maka sejak tanggal pendaftaran sita, pihak tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita dimaksud. Semua tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan dimaksud, batal demi hukum (null and void). Sedangkan barang yang disita, tetap berada dibawah kekuasaan tergugat. Penyitaan itu dilakukan hanya dalam bentuk penepatan oleh majelis hakim, yang menangani Perkara dimaksud, yang penyitaannya dilakukan oleh panitera/jurusita, yang disaksikan oleh dua orang saksi (SEMA Nomor 89/K/1018/M/1962).

Apabila kemudian gugatan penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, amar putusan hakim tentang sita revindikator dinyatakan syah dan berharga. Apabila gugatan ditolak (niet onvankelijke verklaard), sita konservator akan diangkat/dicabut.

Dalam hal gugatan dikabulkan sebahagian, sita konservator tidak dapat dilakukan, dan perintah penyitaannya akan diangkat. Sita konservator yang merupakan sebuah rumah atau sebidang tanah, tidak dapat dilakukan sebahagian, tetapi harus dilakukan sebagai satu kesatuan.

2.Proses Persidangan

Dalam proses persidangan, mungkin para pihak langsung hadir pada sidang pertama, namun tidak jarang terjadi salah satu pihak tidak hadir, baik penggugat maupun tergugat. Apabila para pihak telah hadir, sidang dimulai ketahapan selanjutnya, yaitu melakukan upaya perdamaian. Bila upaya perdamaian tidak berhasil, dilanjutkan dengan acara pemeriksaan, yang mungkin dilakukan dengan acara cepat atau acara biasa. Dalam acara pemeriksaan di dalam persidangan, dimulai dengan pembacaan gugatan, selanjutnya tergugat diberi kesempatan untuk menjawab gugatan, yang dilajutkan dengan tanggapan pengugat atas jawaban tergugat. Tergugat diberi kesempatan sekali lagi untuk memberikan jawaban. Apabila para pihak tidak lagi saling ingin memberikan penjelasan atau tangkisan, acara selanjutnya melakukan pembuktian dari penggugat atau tergugat. Bila perlu dimintakan kesaksian dari saksi ahli mengenai perkara dimaksud. Setelah acara pembuktian, para pihak akan mengambil kesimpulan, yang biasanya untuk kepentingannya. Setelah para pihak menyampaikan kesimpulannya, majelis hakim mengambil putusan atas perkaranya.

a. Kehadiran Para Pihak

Apabila salah satu pihak, atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang, ketua majelis hakim menetapkan hari sidang berikutnya. Hari sidang berikutnya ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan. Penundaan sidang dimaksud Dapat diberikan sebanyak-banyaknya dua kali penundaan (Pasal 93 UUPPHI).

1) Tidak Hadirnya Penggugat

Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut, tidak hadir di Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, atau setelah dilakukan dua kali penundaan, gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi (Pasal 94 ayat (1) UUPPHI).

3) Tidak Hadirnya Tergugat

Apabila yang tidak hadir memenuhi panggilan adalah tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebanyak tiga kali, tetap tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat (putusan verstek) (Pasal 94 ayat (2) UUPPHI).

4) Para Pihak Hadir

Pada sidang pertama mungkin para pihak hadir di persidangan. Apabila para pihak hadir, maka persidangan yang pertama dimulai dengan acara pemeriksaan. Selanjutnya majelis hakim akan menganjurkan penyelesaian secara damai, bila perlu membantu perundingan. Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim menetapkan lain. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan. Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah ketua majelis hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.

b. Acara Pemeriksaan

7) Upaya Perdamaian

Dalam proses perkara, yang mengatur hubungan hukum dan kepentingan perseorangan, baik sebagai pribadi maupun sebagai badan hukum, apabila terjadi pertikaian diantara para pihak, pada penyelesaian di semua tingkatan, selalu dikedepankan upaya penyelesaian melalui perdamaian. Penyelesaian secara damai diyakini paling memuaskan dan memenuhi rasa keadilan para pihak yang berperkara. Hukum ketenagakerjaan juga menganut asas yang sama.

Dengan hadirnya para pihak memenuhi panggilan, sidang dapat dimulai. Setelah menempuh prosedur, identifikasi para pihak yang berperkara secara lengkap, masing-masing pihak diberi kesempatan untuk meneliti bukti diri ataupun kuasa para pihak, diteliti oleh para pihak sesuai dengan aslinya. Langkah pertama yang dilakukan hakim dalam memulai persidangan pertama adalah, menganjurkan dan mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang berperkara. Tujuan dilakukannya upaya perdamaian, untuk;

(a) memperbaiki hubungan para pihak yang bersengketa,

(b) menghasilkan kesepakatan,

(c) kompromi dalam kesepakatan mampu menyelesaikan kepentingan yang berbeda (conflic Of intererest), dan

(d) menyelaraskan tindakan dan kepentingan untuk masa depan bersama (Pasal 130 HIR dan 154 RBg dan M. Yahya Harahap dalam Lilik Mulyadi, 2002).

Upaya perdamaian dapat dilakukan, di dalam atau di luar persidangan Perdamaian yang dilakukan diluar persidangan tidak melibatkan hakim.

Apabila dapat dilakukan perdamaian, berdasarkan hukum acara perdata, perdamaian tersebut dibuatkan Akta Perdamaian, dalam UUPPHI disebut dengan Perjanjian Bersama (PB).

PB sekurang-kurangnya memuat:

(a) nama lengkap dan alamat para pihak,

(b) tanggal dan tempat perundingan,

(c) pokok masalah atau alasan perselisihan,

(d) pendapat para pihak,

(e) kesimpulan perundingan, dan

(f) tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan (Pasal 6 dan 7 ayat (1) UUPPHI).

PB dimaksud mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Selanjutnya PB wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian kepada Pengadilan HI di wilayah para pihak mengadakan PB. PB yang telah didaftar, diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PB. Apabila PB tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan HI di wilayah PB didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Apabila pemohon eksekusi berdomisili di luar PN tempat pendaftaran PB dilakukan, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan HI di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan HI yang kompeten melaksanakan eksekusi.

Dengan demikian dalam PPHI, meskipun perdamaian dilakukan diluar pengadilan, apabila dilakukan sesuai dengan tata cara dan persyaratan yang ditentukan, perdamaian itu mempunyai kekuatan eksekutorial (Pasal 7 UUPPHI).

Berdasarkan Hukum Acara Perdata, apabila perdamaian dilakukan di depan pesidangan, hakim dapat ikut campur dalam perdamaian itu, dan bila berhasil dibuatkan akta perdamaian (acte van

vergelijk), yang dibuat oleh para pihak, yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan hakim. Sebagai konsekwensinya, dengan terjadinya pedamaian dimuka hakim, apabila salah satu pihak ingkar janji, perkaranya tidak dapat lagi dilakukan gugatan ke PN,akta perdamaiannya juga tidak dapat di-banding/kasasi, karena telah mempunyai kekuatan untuk dapat dieksekusi (Putusan MA Nomor: 975 K/Sip/1973 tanggal 19 Februari 1976).

1) Macam-macam Beracara

Dalam PPHI, ditetapkan ada dua macam acara yang dapat dilakukan, yaitu dengan acara cepat atau dengan acara biasa.

a). Dengan Acara Cepat

Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan HI supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. Dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimanya permohonan dimaksud, Ketua PN mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. Terhadap penetapan dimaksud tidak digunakan upaya hukum (Pasal 98 UUPPHI).

Dalam pemeriksaan dengan secara cepat, Ketua PN dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan dimaksud, menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang

tanpa melalui prosedur pemeriksaan. Yang dimaksud dengan pemeriksaan disini, tentunya pemeriksaan atas kelengkapan dan persyaratan formal atas berkas perkara, misalnya kompetensi relatif, bukti telah dilakukan perundingan atau konsiliasi/mediasi, kelengkapan gugatan, kuasa khusus para penggugat Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian para pihak dalam acara pemeriksaan secara cepat, ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja (Pasal 81 s/d 84 dan Pasal 99 UUPPHI).

b). Dengan Acara Biasa

Proses pemeriksaan dengan acara biasa, dilakukan dengan penetapan majelis hakim oleh ketua pengadilan. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditetapkan, ketua majelis hakim harus sudah melakukan sidang pertama. Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah menurut ketentuan hukum acara.

Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, berupa melakukan tindakan skorsing dalam proses PHK dan tidak membayar upah dan hak-hak yang biasa diterima pekerja, selama proses perkaranya berlangsung, hakim ketua sidang menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha

Untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja yang bersangkutan. Putusan sela dimaksud dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan HI.

Putusan sela dan penetapan sita jaminan dimaksud tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak upaya hukum lainnya (Pasal 96 UPPHI).

3) Pembacaan Surat Gugatan

Tidak tercapainya perdamaian diantara para pihak, dicatat dalam berita acara persidangan. Perkara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan oleh penggugat.

Selesai pembacaan suat gugatan, hakim akan menanyakan apakah penggugat tetap pada gugatannya atau akan melakukan perubahan terhadap gugatan. Setelah penggugat menyatakan pendiriannya, sidang dilanjutkan dengan mendengar jawaban tergugat.

Dalam praktek, biasanya tergugat meminta penundaan sidang, untuk menyusun jawaban tertulis.

4) Jawaban Tergugat

Dalam persidangan kedua, merupakan giliran tergugat untuk memberikan tanggapan atau sanggahan atas gugatan penggugat. Jawaban tergugat pada umumnya berisikan:

a) eksepsi,

b) mengenai pokok perkara,

c) gugatan balik (rekonvensi), dan

d) permohonan (petitum).

a). Eksepsi

Eksepsi berisikan tangkisan, sebagai jawaban tergugat bukan mengenai pokok perkara, biasanya mengenai segi formal dari surat gugatan. Pada dasarnya tangkisan dari tergugat biasanya terhadap dua hal, yaitu mengenai acaranya atau eksepsi prosesuil dan mengenai materinya atau eksepsi material. Untuk lebih jelasnya diuraikan seperti berikut ini:

1). Eksepsi mengenai acaranya atau eksepsi prosesuil (procesueel).

Eksepsi mengenai prosesuil dapat berupa:

(a) Tangkisan dalam hukum acara tentang tidak berwenangnya pengadilan secara absolut (absolute competentie), seperti misalnya mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili perkaranya karena merupakan wewenang absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (declinatoire exeptie);

(b) Perkara yang diajukan adalah perkara yang telah pernah disidangkan dan belum mendapat penyelesaian akhir dari pengadilan pada tingakt banding, sehingga belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) (exeptie litispendentie);

(c) Perkara yang diajukan adalah perkara yang telah pernah disidangkan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht),

sehingga perkara yang sama tidak dapat dua kali diajukan (ne bis in idem);

(d) Perkara yang diajukan ditolak, karena mengandung cacat formal, antara lain belum semua tergugat ditarik sebagai tergugat (exeptie plurium litis consortium);

(e) Penggugat tidak berkedudukan sebagai kualitas untuk mengajukan gugatan, karena tidak mempunyai hubungan hukum dengan tergugat (exeptie disqualificatoire);

(f) Perkara yang diajukan adalah perkara yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang dalam proses pada lembaga pengadilan atau lembaga yang berwenang, yang belum mendapat putusan (exeptie connexiteit);

(g) Perkara yang diajukan adalah perkara yang belum waktunya diajukan (premature) karena tergugat belum berakhir batas waktunya untuk berfikir (exeptie Van Beraad).

2) Eksepsi material (materiale exeptie)

Yaitu tangkisan tergugat yang didasarkan pada hukum material, yang dapat berupa eksepsi dilator atau eksepsi peremtor:

a. eksepsi dilator (dilatoire exeptie),

yaitu berupa tangkisan yang berdasarkan pada hukum material dan meminta agar perkara jangan diteruskan, atau ditunda. Misalnya karena para pihak sedang dalam proses perdamaian yang belum selesai, atau gugatan belum jatuh tempo;

b. eksepsi peremtor (peremtoire exeptie), yaitu eksepsi yang berdasarkam hukum material dengan tujuan untuk menggagalkan gugatan terhadap pokok perkara. Misalnya dengan alasan kewajiban sudah dipenuhi atau tuntutan telah kedaluwarsa (Lilik Mulyadi, 2002).

b). Mengenai Pokok Perkara Jawaban tergugat dalam pokok perkara merupakan jawaban yang sesungguhnya, yang merupakan inti dari jawaban yang diberikan tergugat atas gugatan yang diajukan penggugat. Tidak ada bentuk-bentuk jawaban tertentu yang diatur oleh ketentuan hukum, yang penting jawaban dibuat dengan singkat, berisi, padat, dan jelas. Bentuk jawaban dapat dilakukan sekaligus, dengan akibat apabila tidak diajukan sekaligus akan gugur. Atau jawaban dapat diberikan secara bertahap, yang dapat menghambat cepatnya jalannya persidangan

Demi kepentingan para pihak yang berkara, sepanjang dalam pemeriksaan, jawaban dapat saja diajukan, dengan tetap menjaga kelancaran persidangan (Pasal 114 ayat (1) Rv, Retnowulan, 1983, dan Sudikno Mertokusumo, 2002).

Jawaban yang diberikan tergugat mengenai pokok perkara ini, dapat berupa menyangkal, mengakui, atau mengemukakan fakta baru.

1) Menyangkal

Bentuk sangkalan itu adalah menolak gugatan tergugat, atau tidak sependapat dengan penggugat, dan menolak dalil-dalil yang diajukan penggugat. Argumentasi sangkalan itu biasanya didasarkan pada bukti otentik yang dimikili tergugat, yurisprudensi, atau pendapat para ahli (doktrin) (Pasal 113 Rv).

2) Mengakui

Ada kalanya dalam mengajukan jawaban, tergugat secara jujur mengakui kebenaran gugatan, walaupun hal itu mungkin tidak dinyatakan secara tegas dalam jawaban tertulis. Selanjutnya tergugat biasanya menyerahkan kepada majelis hakim untuk mengambil kebijakan dalam putusannya.

3) Mengemukakan Fakta Baru

Dalam memberikan jawaban dapat pula terjadi tergugat mengemukakan fakta baru, sehingga tergugat berada pada pihak yang benar. Misalnya tergugat memang tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, akan tetapi hal itu terjadi karena adanya keadaan memaksa (overmacht), atau tergugat dinyatakan pailit.

c). Gugatan Balik (Rekonvensi)

Pada waktu menjawab gugatan penggugat, tergugat dapat pula melakukan gugatan balik (gugatan rekonvensi). Gugatan balik dapat dilakukan secara tertulis atau lisan, sepanjang hal itu dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan mengenai pembuktian. Gugatan balik dilakukan bersama-sama dengan jawaban, dan kedua perkara tesebut diselesaikan bersama-sama dalam satu putusan, sepanjang tuntutan dalam gugatan balik tidak melampaui kewenangan hukum majelis hakim yang memeriksa perkara. Pada dasarnya, gugatan balik dapat dilakukan dalam semua perkara, kecuali dalam hal:

1) Penggugat rekonvensi bertindak dalam kualitas tertentu, sedangkan gugatan balasan ditujukan terhadap diri pribadi penggugat atau sebaliknya;

2) PN yang memeriksa gugatan dalam konvensi tidak berwenang untuk memeriksa gugatan dalam rekonvensi;

3) Perkara yang digugat rekonvensi adalah perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim;

4) Gugatan rekonvensi tidak dilakukan pada tingkat pemeriksaan di PN (Pasal 132 dan Pasal

157 dan 158 RBg).

d). Permohonan (Petitum) Permohonan merupakan kesimpulan dari hal-hal yang diajukan tergugat dalam jawabanya. Pada intinya adalah, meminta agar majelis hakim mengambil putusan dengan menolak atau membenarkan gugatan.

Tidak ada ketentuan mengenai bentuk dan susunan permohonan dari tergugat.

Dalam prakteknya ada yang melakukannya dengan sekaligus

Dapat dilakukan dengan membagi jawaban, secara primer menolak seluruh gugatan penggugat dan subsidair, apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon kiranya diputus dengan seadil-adilnya (Ex Eque et bono).

Dapat juga dilakukan dengan memisahkan, membagi permohonan dalam dalam eksepsi, dalam pokok perkara, dan dalam rekonvensi.

5) Tanggapan Penggugat (Replik) Tanggapan penggugat (replik), merupakan jawaban kembali atas jawaban tergugat, sebagai jawaban balasan dari penggugat atas segala sesuatu hal yang disampaikan oleh tergugat dalam jawabannya. Baik yang berupa eksepsi, mengenai pokok perkara, rekonvensi, maupun petitum dari tergugat. Dalam jawaban rekonvensi, pengugat menjawab sebagai tergugat dalam rekonvensi (Pasal 142 Reglement op de Rechtverordering).

6) Tanggapan Tergugat (Duplik) Dalam persidangan berikutnya (ketiga), giliran tergugat untuk mendapat kesempatan menjawab untuk kedua kalinya (duplik). Dalam jawaban kali ini, tergugat diberi kesempatan untuk menjawab replik dari tergugat. Dengan demikian isi jawaban kedua, merupakan tanggapan atas replik dari penggugat.

7) Pembuktian

a). Pembuktian Oleh Penggugat

Setelah para pihak masing-masing diberi kesempatan beradu argumentasi melalui replik dan duplik, pada acara selanjutnya biasanya kesempatan diberikan kepada penggugat untuk menyampaikan alat bukti.

b). Pembuktian Oleh Tergugat

Demikan juga, tergugat mendapat kesempatan yang sama untuk mengajukan alat bukti yang dimiliki atau yang ingin diajukan, setelah penggugat mengajukan alat buktinya.

Pembuktian oleh tergugat tentunya untuk menyanggah keterangan atau bukti yang diajukan tergugat, seperti misalnya minta untuk dapat dihadirkan saksi.

8) Pemanggilan Saksi

Untuk memperkuat argumentasi para pihak, biasanya mereka mengajukan saksi-saksi untuk di dengar keterangannya di muka sidang. Atau dapat pula meminta keterangan dari saksi ahli, misalnya pegawai pengawas ketenagakerjaan, mediator atau konsiliator yang telah menengahi perkaranya pada tingkat penyelesaian diluar pengadilan.

a). Saksi

Majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh majelis hakim guna penyelidikan untuk PPHI, wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan (Pasal 90 UUPPHI).

b). Saksi Ahli

Majelis hakim dapat pula memanggil saksi ahli untuk dimintai keterangannya. Dalam hal keterangan yang diminta majelis hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, ditempuh prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 UUPPHI).

9) Kesimpulan

Setelah proses pembuktian selesai dilakukan oleh para pihak, dan tidak ada bukti yang ingin diajukan, sementara saksi yang diperlukan telah pula didengar keterangannya, masing-masing pihak sampai pada kesimpulan dari hasil selama persidangan berlangsung.

Pada prakteknya kesimpulan yang dibuat oleh para pihak tentunya yang menguntungkan kepentingannya.

10) Pengambilan Putusan

Apabila para pihak tidak lagi mengajukan penjelasan atau pembuktian, dan telah sampai pada kesimpulan, maka tahapan pemeriksaan telah selesai. Pada gilirannya hakim akan mengambil putusan untuk menyelesaian perkara. Keputusan hakim, adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaiakn suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Keputusan hakim merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut Vonnis yang memuat kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya (Rubini dan Chidir Ali, 1974 dan Sudikno Mertokusumo, 2002).

Putusan hakim yang baik, memuat dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Memenuhi kebutuhan teoriti artinya, sebuah putusan hakim itu harus dapat dipertanggung-jawabkan dari segi ilmu hukum, karena tidak jarang putusan dimaksud menjadi yurisprudensi yang dapat merupakan sumber hukum yang baru. Sedangkan yang dimasud dengan memenuhi kebutuhan praktis, ialah bahwa dengan putusan itu diharapkan hakim dapat menyelesaikan perkara hukum yang ada dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa dan masyarakat, karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum (sosiologi hukum) (Purwoto S. Gandasubrata, dalam Lilik Mulyadi 2002).

Dalam putusan Pengadilan HI ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dalam mengambil putusan, majelis hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 97 dan 100 UU. PPHI).

a). Sifat Putusan

Putusan hakim dapat bersifat putusan deklarator, konstitutif, atau kondemnator. Ketiga sifat putusan ini biasanya merupakan satu kesatuan dalam putusan yang diambil oleh hakim, sehingga penyelesaian perkarannya lengkap dan tuntas.

(1). Putusan deklarator

Putusan deklarator (declaratoir vonnis), adalah putusan yang bersifat menerangkan, berupa membenarkan atau menolak, untuk menetapkan suatu keadaan hukum yang dinyatakan oleh penggugat.

(2).Putusan Konstitutif

Putusan Konstitutif (constitutive vonnis), adalah suatu bentuk putusan yang bersifat menghapus bentuk suatu keadaan hukum yang ada dan menetapkan keadaan hukum yang baru. Misalnya putusan yang menyatakan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berakhir.

(3). Putusan Kondemnator

Putusan Kondemnator (condemnatoir vonnis), adalah putusan hakim yang bersifat menghukum salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat (pengusaha) untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan hak-hak pekerja (penggugat) lainnya.

b). Jenis-jenis Putusan

Putusan dapat pula dibedakan menurut jenisnya, dapat dibedakan ke dalam putusan verstek, putusan sela, dan putusan akhir.

(1). Putusan Verstek:

Putusan Verstek (default judgement) adalah bentuk putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara tanpa kehadiran tergugat, padahal untuk itu tergugat telah dipanggil dengan sepatutnya. Apabila tergugat lebih dari satu orang dan yang tidak hadir hanya sebagian dari tergugat, dilakukan pemeriksaan secara biasa, dan kemudian dijatuhkan putusan biasa (contradictoir) ( Pasal 125 ayat (1) HIR dan Pasal 149 ayat (1) RBg).

Dalam pengambilan putusan vestek, majelis hakim memutus dalam empat kemungkinan isi putusan:

(a) seluruh gugatan dikabulkan,

(b) gugatan dikabulkan sebahagian,

(c) gugatan ditolak, atau

(d) gugatan seluruhnya tidak dapat diterima.

(a). Seluruh gugatan dikabulkan

Gugatan akan dikabulkan seluruhnya apabila:

(i) semua tergugat tidak hadir dipersidangan pada hari yang telah ditentukan,

(ii) tergugat juga tidak mengirimkan wakilnya yang syah,

(iii) tergugat telah dipangggil dengan sepatutnya,

(iv) petitum yang diajukan tidak melawan hak, dan

(v) petitum beralasan.

(b). Gugatan dikabulkan sebahagian Gugatan akan dikabulkan sebagian, apabila ada bagian dari gugatan yang ditolak, karena tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum.

(c). Gugatan ditolak

Gugatan ditolak, apabila ternyata petitumnya ternyata melawan hak atau tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum.

(d). Gugatan seluruhnya tidak dapat diterima Gugatan penggugat dinyatakan seluruhnya tidak dapat diterima, apabila ternyata di dalam gugatan terdapat kesalahan formal. Misalnya subyek dari orang yang digugat tidak benar, dan kualitas orang yang mengajukan gugatan adalah orang yang tidak berhak. Atau mungkin pula surat gugatan ditandatangani oleh seorang kuasa yang tidak mempunyai surat kuasa khusus.

(2). Putusan Sela

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya putusan sela. Dalam prakteknya putusan sela diucapkan di dalam persidangan, namun tidak dibuat secara terpisah, tetapi hanya ditulis dalam berita acara persidangan. Putusan Sela hanya dapat dimintakan banding bersama- sama dengan

Permintaan banding terhadap putusan akhir. Bentuk Putusan Sela dapat berupa putusan preparator, putusan interlokutor, putusan insidentil, dan putusan provisionel (Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 190 ayat (1) HIR, Pasal Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 196 ayat (1) Rbg, dan Pasal 48 dan Pasal 332 Rv).

Dalam UUPPHI, mengenai penetapan putusan sela ini ditegaskan bahwa, permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi gugatan. Putusan sela dapat dilakukan pada persidangan pertama atau yang kedua dihadiri para pihak. Putusan Sela dapat ditetapkan apabila dalam persidangan, ternyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, berupa melakukan tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK, dengan tidak membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja.

Jadi dapat diambil putusan sela yang berupa putusan provisional, yaitu mengabulkan permintaan

Pihak penggugat agar sementara proses perkara berlangsung, diadakan tindakan pandahuluan guna kepentingan pihak penggugat, sebelum putusan akhir dijatuhkan. Apabila selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan HI. Putusan sela dan penetapan, tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 96 UUPPHI).

Selanjutnya, apabila dalam penyelesaian perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan PHK, Pengadilan HI wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.

Untuk itu, ketua majelis hakim berwenang untuk mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Pasal 86 dan 108 UUPPHI).

Ketentuan UUPPHI ini memaksa majelis hakim untuk mengambil putusan sela, khusus mengenai status hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, sebelum selanjutnya memutus perkara

gugatan lainnya, misalnya perselisihan hak (Pasal 1 butir 3 UUPPHI).

(3). Putusan Akhir

Putusan Akhir (eind vonnis), merupakan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim mengenai seluruh pokok perkara untuk mengakhiri penyelesaian gugatan diantara para pihak.

D. UPAYA HUKUM

Hukum Acara Perdata mengenal dua bentuk upaya hukum, yang tentunya berlaku juga dalam Hukum Acara PPHI.

Kedua bentuk upaya hukum dimaksud adalah, upaya hukum biasa, berupa perlawanan (verzet), banding (revisi) dan kasasi (cassatie), dan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (request civil) dan upaya pihak ketiga (derden verzet).

Suatu hal yang khusus dalam PPHI adalah, tidak dibuka upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, untuk selanjutnya tidak dibahas mengenai upaya hukum banding.

1. Upaya Hukum Biasa

Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, PPHI melalui Pengadilan HI yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya, dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi.

Putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan hak, dan PHK, dapat langsung dimintakan kasasi ke MA. Sedangkan putusan Pengadilan HI mengenai kepentingan dan antar SP/SB dalam

Satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke MA (Pasal 56, 114 dan 115 UUPPHI).

Dengan demikian, upaya hukum biasa dalam Hukum Acara Perdata yang dapat dilakukan para pihak dalam PPHI hanya perlawanan dan kasasi.

a. Perlawanan

Upaya hukum berupa perlawanan (verzet) dilakukan tergugat atas putusan yang dijatuhkan dengan tidak hadirnya tergugat (verstek).

Upaya perlawanan dilakukan sendiri oleh tergugat kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek. Perlawanan terhadap putusan verstek tidak diputus sebagai perkara baru (Pasal 123 jo. Pasal 129 HIR, Pasal 153 RBg, dan Putusan MA Nomor: 307/Sip/1975)

Tenggang waktu dalam melakukan upaya hukum perlawanan ini, ditentukan sebagai berikut:

1) 14 hari terhitung sejak putusan verstek diberitahukan kepada terugat secara sah;

2) sampai dengan hari kedelapan setelah dilakukan pelasanaan putusan, dalam hal pemberitahuan putusan verstek tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri;

3) Hari ke 14 setelah dilaksanakan perintah tertulis, apabila tergugat tidak datang menghadap setelah dipanggil secara patut (Pasal 129 ayat (1), 196 dan 197 HIR, dan Pasal 153 ayat (1), 207dan 208 RBg).

Dalam persidangan perlawanan, kedudukan pelawan (opposant) tetap sebagai tergugat. Sedangkan beban pembuktian diletakkan pada tergugat. Perlawanan terhadap putusan verstek hanya dapat dilakukan sekali saja. Apabila putusan perlawanan kembali diputus dengan putusan verstek, tergugat tidak dapat melakukan perlawanan untuk yang kedua kali, karena tidak akan diterima. Upaya perlawanan tergugat dapat ditolak, atau dikabulkan. Apabila perlawanan tergugat

ditolak, upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan oleh tergugat adalah mengajukan kasasi, khusus untuk perkara perselisihan hak dan PHK (Pasal 129 ayat (5) HIR, Pasal 153 ayat (6) dan 200 RBg, dan Pasal 56 UUPHI).

b. Kasasi Kasasi (cassatie) secara harfiah berarti membatalkan atau memecahkan suatu perkara yang diputus oleh pengadilan dibawah MA. Pengertian kasasi, adalah pembatalan atas putusan pengadilan dalam tingkat terakhir, penetapan dan perbuatan pengadilan lain dan hakim yang bertentangan dengan hukum.

Ketentuan mengenai tata cara kasasi di bidang perdata, prosesnya seperti berikut ini. Terhadap putusan yang diambil dalam tingkat akhir oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum biasa (rechterlijke beslissingen), yang merupakan putusan dari pengadilan yang sesungguhnya, selain dari putusan MA sendiri, dapat dimintakan kasasi kepada MA (Sudikno Mertokusumo, 2002).

Permohonan kasasi dapat diajukan oleh para pihak yang berkepentingan, yang dapat diajukan hanya satu kali. Pelaksanaannya dapat mewakilkan kepada seseorang yang diberi kuasa secara khusus. Pada dasarnya, permohonan kasasi dapat disampaikan secara tertulis atau lisan melalui panitera pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama, yang telah memutus perkaranya. Dalam mengajukan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan dilakukannya kasasi. Penyampaian memori kasasi dimaksud dilakukan paling lama 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat.

Apabila dalam tenggang waktu 14 hari tersebut tidak dilakukan permohonan kasasi dari pihak yang berperkara, para pihak dianggap telah menerima putusan.

Bagi pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi, menyampaikan secara tertulis melalui

Sub Kepaniteraan Pengadilan HI.

Sub Kepaniteraan Pengadilan HI dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi menyampaikan berkas perkara kepada Ketua MA ( Pasal 111 dan 112 UUPPHI).

Setelah pemohon membayar biaya perkara, dalam PPHI apabila perkaranya lebih dari 150 juta, panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar untuk itu.

Pada hari yang sama membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. Setelah permohonan kasasi terdaftar, panitera memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan kasasi tersebut, kepada pihak lawan (Pasal 46 UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).

Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi (surat jawaban termohon kasasi), panitera PN setempat mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada MA, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari (Pasal 48 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).

Untuk Putusan Pengadilan HI, berlaku ketentuan khusus. Putusan pada Pengadilan HI mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK, mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada MA dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja:

a) bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim, dan

b) bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan (Pasal 110 UUPPHI).

2 .Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa, dapat berupa peninjauan kembali, atau upaya pihak ketiga.

A .Peninjauan Kembali

Upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK) (request civil), merupakan suatu upaya agar putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena tidak ada ketentuan khusus dalam PPHI, tentunya termasuk pula putusan Pengadilan HI atau putusan MA untuk perkara PPHI, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dapat dilakukan upaya hukum PK. Permohonan PK dapat dilakukan oleh para pihak yang berperkara, kuasa, atau ahli warisnya. Apabila selama proses PK pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat diajukan oleh ahli warisnya.

Permohonan PK hanya dapat dilakukan satu kali terhadap satu perkara. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus, dan apabila sudah dicabut, permohonan PK tidak dapat diajukan lagi (Pasal 66 ayat (1) dan (3), dan 68 UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).

Permohonan PK atas putusan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan apabila didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

2) Setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

3) Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut ;

4) Mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangan sebab-sebabnya;

5) Antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya;

6) Dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata (Pasal 67 UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).

Tenggang waktu pengajuan permohonan PK adalah 180 hari, untuk hal-hal sebagai berikut:

1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan, yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

2) Setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

3) Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, atau apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangan sebab-sebabnya, atau apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

4) Antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya, sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2004).

Permohonan PK diajukan kepada Ketua MA, melalui Ketua PN yang memutus perkara pada tingkat pertama. Untuk itu, pemohon dikenai biaya perkara, kecuali untuk perkara PPHI apabila nilai gugatannya kurang dari 150 juta rupiah (Pasal 70 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004, dan Pasal 58 UUPPHI).

Dengan dilakukannya upaya hukum PK, tidak menangguhkan atau mengentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk melindungi pihak yang menang dalam berperkara, ketua majelis hakim Pengadilan HI dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004, dan Pasal 108 UUPPHI).

Permohonan PK diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan. Permohonan dimasukkan ke kepaniteraan PN yang memutus perkara pada tingkat pertama. Apabila pemohon tidak dapat menulis, pemohon menguraikan secara lisan di hadapan Ketua PN atau hakim yang ditunjuk, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut dan alasan-alasannya (Pasal 71 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).

Panitera Pengadilan setempat dalam waktu 14 hari wajib mengirimkan/memberikan salinan permohonan PK kepada lawan pemohon dengan maksud, jika PK didasarkan atas suatu kebohongan/tipu muslihat atau bukti palsu berdasarkan putusan hakim, maka pihak lawan ada kesempatan mengajukan jawabannya.Apabila permohonan PK diajukan atas alasan, putusan melibih dari yang dituntut, ada bagian tuntutan yang belum diputus, ada putusan atas perkara yang sama yang putusanya bertentangan, atau terdapat kekhilafan/kekeliruan hakim yang nyata, alasan-alasan dimaksud dapat diketahui oleh pihak lawan.

Tenggang waktu pihak lawan mengajukan jawaban adalah 30 hari setelah diterimanya salinan permohonan PK. Surat jawaban diserahkan/dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pada surat jawaban dimasud oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut.

Salinan jawaban dimaksud disampaikan/ dikirimkan kepada pemohon PK. Permohonan PK beserta berkas perkara dan biayanya, oleh panitera pengadilan PN dikirimkan ke MA selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari. Untuk permohonan PK, tidak diadakan surat menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain dengan MA (Pasal 72 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).

b. Upaya Pihak Ketiga

Upaya hukum pihak ketiga (derden verzet), merupakan upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga melawan putusan hakim yang merugikan kepentingannya. Dalam perkara perdata umum, praktek yang berlangsung dalam kasus gugatan oleh pihak ketiga ini misalnya mengenai sita atas dasar milik, dimana barang yang disita adalah barang milik pihak ketiga. Perlawanan pihak ketiga diajukan kepada Ketua PN yang melakukan penyitaan (Pasal 195 ayat (6) HIR, dan Pasal 206 ayat (6) RBg).

Dalam perkara PPHI, upaya hukum ini dapat terjadi, misalnya ada perselisihan hak yang diputus oleh pengadilan HI. Putusan tersebut menetapkan hak-hak pekerja dan mengabulkan sita jaminan yang diajukan pekerja, misalnya terhadap mobil yang dipergunakan oleh perusahaan. Ternyata mobil tersebut adalah mobil yang disewa perusahaan dari pihak ketiga. Dalam hal ini pemohon (pemilik mobil) mengajukan permohonan agar putusan sita jaminan atas mobil dimaksud, yang menjadi pokok perlawanan dari pihak ketiga selaku pemohon, dapat dibatalkan.

E. PELAKSANAAN PUTUSAN

Dalam Hukum Acara Perdata, dikenal tiga macam eksekusi, yaitu:

1) membayar sejumlah uang,

2) melakukan suatu perbuatan, dan

3) mengosongkan barang tidak bergerak.

1. Membayar Sejumlah Uang Untuk melaksanakan hukuman yang berupa pembayaran sejumlah uang dilakukan dengan penjualan melalui lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah dalam berperkara, sampai dapat melunasi seluruh kewajibannya, ditambah biaya pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dilakukan terhadap barang-barang pihak yang kalah yang dalam proses berperkara, yang telah ditentukan sebagai sita jaminan atau belum. Pada tahap pertama, PN meletakkan sita eksekusi (executoir beslag) atas barang-barang milik pihak yang kalah dalam berperkara. Penjualan barang dimulai dari barang bergerak, apabila belum mencukupi baru terhadap barang tidak bergerak. Biasanya eksekusi dilakukan didahului dengan pengumuman lelang (Pasal 197 HIR dan Pasal 208 RBg).

2. Melakukan Suatu Perbuatan

Dalam prakteknya eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan adalah eksekusi yang hanya dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang kalah secara sukarela, seperti misalnya kewajiban untuk mempekerjakan kembali pekerja. Apabila pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan hukuman untuk melakukan suatu perbuatan dalam waktu yang ditentukan,pihak yang menang berperkara berperkara dapat meminta kepada Ketua PN agar perbuatan yang sedianya dilaksanakan tersebut oleh pihak yang kalah, diganti dengan nilai sejumlah uang (Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBg).

Dalam pelaksanaan penilaian penggantian dengan sejumlah uang ini, penilaiannya dilakukan oleh Ketua PN yang bersangkutan, dengan mengganti putusan majelis hakim yang memutus perkara dengan putusan baru. Ketentuan yang sama juga dapat dilakukan terhadap putusan MA, penetapan putusan atas penilaian penggantian dengan sejumlah uang ini, dilakukan tidak dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1969).

3. Mengosongkan Barang Tidak Bergerak

Pelasanaan mengosongkan barang yang tidak bergerak (eksekusi riil), dilaksanakan apabila pihak yang kalah berkara tidak bersedia melaksanakan putusan dengan sukarela. Pelaksanaannya dilakukan oleh jurusita. Barang tidak bergerak itu, dikosongkan dari orangyang menempatinya dan segala barang yang ada didalamnya (Pasal 1033 Rv).

Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada tingkat Pengadilan Negeri, secara skematik dapat digambarkan sebagaimana bagan pada halaman berikut.

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PADA PENGADILAN NEGERI PENCATATAN GUGATAN

PERSIAPAN PERSIDANGAN PROSES PERSIDANGAN

Penetapan Majelis Hakim

Pemeriksaan Gugatan

Penetapan Hari Sidang

Pemanggilan Para Pihak

Sita Jaminan

Sita Revindikator

Sita Konservator

Kehadiran Para Pihak

Acara Pemeriksaan

Pembacaan Surat Gugatan

Jawaban Tergugat

Tanggapan Penggugat

(Replik)

Tanggapan Tergugat

(Duplik)

Pembuktian

Kesimpulan

Pengambilan Putusan