TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN PADA
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
_______________________________________
A. PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Pengadilan Hubungan Industrial (Pengadilan HI) merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum, yang dibentuk pada Pengadilan Negeri dan pada Mahkamah
Agung. Tugas dan berwenang Pengadilan HI, memeriksa dan memutus:
1) ditingkat pertama mengenai perselisihan:
a) hak, dan
b) PHK, dan
2) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan:
a) kepentingan, dan
b) antar SP/SB dalam satu perusahaan
(Pasal 1 butir 17, Pasal 55, dan 56 UUPHI).
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) melalui Pengadilan HI yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya, dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan PHK dapat langsung dimintakan kasasi ke MA.
Sedangkan putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan, merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke MA.
Dalam UUPPHI ditentukan bahwa, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan HI adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UUPPHI.
B. KELEMBAGAAN
Untuk pertama kali dibentuk Pengadilan HI pada setiap PN Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden dalam waktu 6 bulan sesudah UUPHI berlaku, egera dibentuk Pengadilan HI setempat.
Untuk DKI Jakarta yang memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan HI yang dibentuk untuk pertama kali adalah Pengadilan HI pada PN Jakarta Pusat (Pasal 59 UUPPHI).
Dalam hal di ibukota provinsi terdapat PN Kota dan PN Kabupaten, maka Pengadilan HI menjadi bagian PN Kota.
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, PPHI melalui Pengadilan HI, dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi.
Pengadilan HI yang memeriksa dan mengadili PPHI dilaksanakan oleh majelis hakim yang beranggotakan tiga orang, yakni seorang hakim PN dan dua orang hakim ad-hoc yang pengangkatan-nya diusulkan oleh SP dan OP.
C. PROSES PENYELESAIAN PERKARA
Proses penyelesaian perkara pada tingkat Pengadilan Negeri seperti berikut ini.
1.Pencatatan Gugatan
Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan HI.
Gugatan diajukan kepada Pengadilan HI yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja bekerja. Untuk gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat, dapat diajukan secara kolektif Dengan memberikan kuasa khusus.
Sampai pada tingkat pencacatan gugatan ini, penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya. Surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, dilampiri dengan risalah penyelesaian, atau bukti bahwa upaya perundingan telah dilakukan, namun tidak berhasil, sebagai bukti telah dilakukan upaya penyelesaian di luar pengadilan. Karena gugatan yang Tidak dilampiri dengan risalah penyelesaian akan dikembalikan kepada penggugat (Pasal 83 ayat (1) UUPPHI).
Surat gugatan yang telah lengkap dimaksud, didaftarkan pada Sub Kepaniteraan Pengadilan HI setempat.
Panitera atau panitera pengganti mencatat surat gugatan dimaksud dalam daftar khusus yang memuat:
a) nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak,
b) pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan, dan
c) dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh penggugat
(Pasal 75 ayat (1) butir b dan Pasal 83 ayat (2) UUPPHI).
Panitera muda sub kepaniteran Pengadilan HI, akan meneliti berkas perkara dan menetapkan rencana biaya perkara yang Harus dibayar oleh penggugat sebagai panjar. Selanjutnya, penggugat/para penggugat akan dimintai panjar biaya perkara, guna kelancaran pelaksanaan jalannya persidangan, seperti biaya pemanggilan para pihak, saksi, atau pemberitahuan lainnya oleh juru sita. Namun, apabila gugatannya bernilai kurang dari 150 juta rupiah, penggugat tidak dikenakan biaya perkara. Semua biaya perkara, termasuk biaya eksekusi, terhadap gugatan yang nilainya kurang dari 150 juta rupiah tidak dibebankan kepada para pihak yang berperkara (Pasal 58 UUPPHI)
.
a. Pemanggilan Para Pihak
Setelah hari sidang pertama ditetapkan, selanjutnya dilakukan pemanggilan para pihak (Relaas, Risalah Panggilan, atau Exploit). Tenggang waktu pemanggilan dengan penetapan hari sdang minimal tersedia tiga hari kosong. Dalam perkara perdata umum, pemanggilan dilakukan oleh jurusita.
Panggilan disampaikan kepada para pihak langsung di tempat tinggalnya masing-masing dengan dibuat berita acara yang ditandatangi oleh penerima surat panggilan dan jurusita.
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala kelurahan atau kepala desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
Penerimaan surat panggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan Dengan tanda penerimaan. Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan HI yang memeriksa perkaranya (Pasal 89 ayat (2) s/d (5) UUPPHI).
b. Sita jaminan
Pada prakteknya, pihak penggugat, dalam gugatannya selalu mengajukan permohonan Untuk dilakukan sita jaminan. Permohonan sita dilakukan karena adanya keadaan mendesak, sehingga diperlukan tindakan sedemikian rupa agar tergugat tidak melakukan perbuatan curang yang akan dapat merugikan penggugat, dengan cara mengalihkan, menjual ataupun memindahtangankan barang yang dituntut untuk dijadikan jaminan, kepada orang lain. Sita jaminan dapat berupa Sita Revindikator (Revindicatoir Beslag) dan Sita Konservator (Conservatoir Beslag) (Pasal 226, 227 HIR dan Pasal 260, 261 RBg)
Pengajuan permohonan sita jaminan dalam gugatan PPHI juga dapat dilakukan.
Khususnya apabila ada tuntutan agar majelis hakim menjatuhkan putusan sela. Apabila selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung ditetapkan adanya putusan sela dan tidak dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang dapat memerintahkan sita jaminan dalam Sebuah penetapan pengadilan HI.
Putusan sela dan penetapan sita jaminan, tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat
digunakan upaya hukum (Pasal 96 ayat (3) UUPPHI)
.
1)Sita Revindikator
Permintaan sita revindikator dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Tujuan penyitaan revindikator dimaksudkan agar penggugat dapat memperoleh haknya kembali atas barangnya yang berada pada tangan tergugat. Sita revindikator hanya dapat dilakukan terhadap barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat. Apabila hendak dilakukan permohonan sita revindikator, supaya dicantumkan dengan dengan jelas, tegas dan terperinci jenis barang yang akan disita, dengan penyebutan ciri-cirinya. Permohonan sita revindikator yang dikabulkan, tidak memindahkan barangnya secara fisik, karena barang yang dikabulkan untuk disita tetap berada ditangan tergugat. Penyitaan itu dilakukan hanya dalam bentuk penepatan oleh majelis hakim, yang menangani perkara dimaksud. Penyitaannya dilakukan oleh panitera/jurusita PN, dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Apabila dalam sidang selanjutnya gugatan penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, maka amar putusan hakim tentang sita revindikator dinyatakan syah dan berharga, sehingga tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada penggugat. Bila gugatan ditolak, sita revindikator akan diangkat/dicabut.
Dalam hal gugatan dikabulkan sebahagian, sita revindikator hanya untuk barang-barang yang dikabulkan dan yang dinyatakan syah dan berharga, sedangkan untuk barang lainnya perintah penyitaannya akan diangkat.
2) Sita Konsevator
Permintaan sita konservator juga dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Tujuan penyitaan konservator dimaksudkan agar tergugat tidak dapat lagi melakukan perbuatan untuk menghilangkan barang guna memenuhi kewajibannya kepada penggugat. Sita konservator dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat. Tidak boleh dilakukan sita konservator atas barang-barang yang dipergunakan untuk menjalankan perusahaan tergugat (Putusan MA Nomor: 206K/Sip/1955).
Apabila hendak dilakukan permohonan sita konservator, terhadap barang tidak bergerak milik tergugat, beberupa tanah, supaya dicantumkan dengan dengan jelas, tegas dan terperinci luas dan batasnya, dan tanah dimaksud benar-benar dikuasai oleh tergugat.
Sebagai akibat dari penyitaan dimaksud, maka sejak tanggal pendaftaran sita, pihak tersita dilarang untuk menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah yang disita dimaksud. Semua tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan dimaksud, batal demi hukum (null and void). Sedangkan barang yang disita, tetap berada dibawah kekuasaan tergugat. Penyitaan itu dilakukan hanya dalam bentuk penepatan oleh majelis hakim, yang menangani Perkara dimaksud, yang penyitaannya dilakukan oleh panitera/jurusita, yang disaksikan oleh dua orang saksi (SEMA Nomor 89/K/1018/M/1962).
Apabila kemudian gugatan penggugat dikabulkan untuk seluruhnya, amar putusan hakim tentang sita revindikator dinyatakan syah dan berharga. Apabila gugatan ditolak (niet onvankelijke verklaard), sita konservator akan diangkat/dicabut.
Dalam hal gugatan dikabulkan sebahagian, sita konservator tidak dapat dilakukan, dan perintah penyitaannya akan diangkat. Sita konservator yang merupakan sebuah rumah atau sebidang tanah, tidak dapat dilakukan sebahagian, tetapi harus dilakukan sebagai satu kesatuan.
2.Proses Persidangan
Dalam proses persidangan, mungkin para pihak langsung hadir pada sidang pertama, namun tidak jarang terjadi salah satu pihak tidak hadir, baik penggugat maupun tergugat. Apabila para pihak telah hadir, sidang dimulai ketahapan selanjutnya, yaitu melakukan upaya perdamaian. Bila upaya perdamaian tidak berhasil, dilanjutkan dengan acara pemeriksaan, yang mungkin dilakukan dengan acara cepat atau acara biasa. Dalam acara pemeriksaan di dalam persidangan, dimulai dengan pembacaan gugatan, selanjutnya tergugat diberi kesempatan untuk menjawab gugatan, yang dilajutkan dengan tanggapan pengugat atas jawaban tergugat. Tergugat diberi kesempatan sekali lagi untuk memberikan jawaban. Apabila para pihak tidak lagi saling ingin memberikan penjelasan atau tangkisan, acara selanjutnya melakukan pembuktian dari penggugat atau tergugat. Bila perlu dimintakan kesaksian dari saksi ahli mengenai perkara dimaksud. Setelah acara pembuktian, para pihak akan mengambil kesimpulan, yang biasanya untuk kepentingannya. Setelah para pihak menyampaikan kesimpulannya, majelis hakim mengambil putusan atas perkaranya.
a. Kehadiran Para Pihak
Apabila salah satu pihak, atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang, ketua majelis hakim menetapkan hari sidang berikutnya. Hari sidang berikutnya ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan. Penundaan sidang dimaksud Dapat diberikan sebanyak-banyaknya dua kali penundaan (Pasal 93 UUPPHI).
1) Tidak Hadirnya Penggugat
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut, tidak hadir di Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, atau setelah dilakukan dua kali penundaan, gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi (Pasal 94 ayat (1) UUPPHI).
3) Tidak Hadirnya Tergugat
Apabila yang tidak hadir memenuhi panggilan adalah tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebanyak tiga kali, tetap tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir, maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat (putusan verstek) (Pasal 94 ayat (2) UUPPHI).
4) Para Pihak Hadir
Pada sidang pertama mungkin para pihak hadir di persidangan. Apabila para pihak hadir, maka persidangan yang pertama dimulai dengan acara pemeriksaan. Selanjutnya majelis hakim akan menganjurkan penyelesaian secara damai, bila perlu membantu perundingan. Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali majelis hakim menetapkan lain. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan. Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah ketua majelis hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
b. Acara Pemeriksaan
7) Upaya Perdamaian
Dalam proses perkara, yang mengatur hubungan hukum dan kepentingan perseorangan, baik sebagai pribadi maupun sebagai badan hukum, apabila terjadi pertikaian diantara para pihak, pada penyelesaian di semua tingkatan, selalu dikedepankan upaya penyelesaian melalui perdamaian. Penyelesaian secara damai diyakini paling memuaskan dan memenuhi rasa keadilan para pihak yang berperkara. Hukum ketenagakerjaan juga menganut asas yang sama.
Dengan hadirnya para pihak memenuhi panggilan, sidang dapat dimulai. Setelah menempuh prosedur, identifikasi para pihak yang berperkara secara lengkap, masing-masing pihak diberi kesempatan untuk meneliti bukti diri ataupun kuasa para pihak, diteliti oleh para pihak sesuai dengan aslinya. Langkah pertama yang dilakukan hakim dalam memulai persidangan pertama adalah, menganjurkan dan mengusahakan perdamaian diantara para pihak yang berperkara. Tujuan dilakukannya upaya perdamaian, untuk;
(a) memperbaiki hubungan para pihak yang bersengketa,
(b) menghasilkan kesepakatan,
(c) kompromi dalam kesepakatan mampu menyelesaikan kepentingan yang berbeda (conflic Of intererest), dan
(d) menyelaraskan tindakan dan kepentingan untuk masa depan bersama (Pasal 130 HIR dan 154 RBg dan M. Yahya Harahap dalam Lilik Mulyadi, 2002).
Upaya perdamaian dapat dilakukan, di dalam atau di luar persidangan Perdamaian yang dilakukan diluar persidangan tidak melibatkan hakim.
Apabila dapat dilakukan perdamaian, berdasarkan hukum acara perdata, perdamaian tersebut dibuatkan Akta Perdamaian, dalam UUPPHI disebut dengan Perjanjian Bersama (PB).
PB sekurang-kurangnya memuat:
(a) nama lengkap dan alamat para pihak,
(b) tanggal dan tempat perundingan,
(c) pokok masalah atau alasan perselisihan,
(d) pendapat para pihak,
(e) kesimpulan perundingan, dan
(f) tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan (Pasal 6 dan 7 ayat (1) UUPPHI).
PB dimaksud mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Selanjutnya PB wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian kepada Pengadilan HI di wilayah para pihak mengadakan PB. PB yang telah didaftar, diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PB. Apabila PB tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan HI di wilayah PB didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Apabila pemohon eksekusi berdomisili di luar PN tempat pendaftaran PB dilakukan, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan HI di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan HI yang kompeten melaksanakan eksekusi.
Dengan demikian dalam PPHI, meskipun perdamaian dilakukan diluar pengadilan, apabila dilakukan sesuai dengan tata cara dan persyaratan yang ditentukan, perdamaian itu mempunyai kekuatan eksekutorial (Pasal 7 UUPPHI).
Berdasarkan Hukum Acara Perdata, apabila perdamaian dilakukan di depan pesidangan, hakim dapat ikut campur dalam perdamaian itu, dan bila berhasil dibuatkan akta perdamaian (acte van
vergelijk), yang dibuat oleh para pihak, yang kekuatan hukumnya sama dengan putusan hakim. Sebagai konsekwensinya, dengan terjadinya pedamaian dimuka hakim, apabila salah satu pihak ingkar janji, perkaranya tidak dapat lagi dilakukan gugatan ke PN,akta perdamaiannya juga tidak dapat di-banding/kasasi, karena telah mempunyai kekuatan untuk dapat dieksekusi (Putusan MA Nomor: 975 K/Sip/1973 tanggal 19 Februari 1976).
1) Macam-macam Beracara
Dalam PPHI, ditetapkan ada dua macam acara yang dapat dilakukan, yaitu dengan acara cepat atau dengan acara biasa.
a). Dengan Acara Cepat
Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan HI supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. Dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah diterimanya permohonan dimaksud, Ketua PN mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. Terhadap penetapan dimaksud tidak digunakan upaya hukum (Pasal 98 UUPPHI).
Dalam pemeriksaan dengan secara cepat, Ketua PN dalam jangka waktu tujuh hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan dimaksud, menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu sidang
tanpa melalui prosedur pemeriksaan. Yang dimaksud dengan pemeriksaan disini, tentunya pemeriksaan atas kelengkapan dan persyaratan formal atas berkas perkara, misalnya kompetensi relatif, bukti telah dilakukan perundingan atau konsiliasi/mediasi, kelengkapan gugatan, kuasa khusus para penggugat Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian para pihak dalam acara pemeriksaan secara cepat, ditentukan tidak melebihi 14 hari kerja (Pasal 81 s/d 84 dan Pasal 99 UUPPHI).
b). Dengan Acara Biasa
Proses pemeriksaan dengan acara biasa, dilakukan dengan penetapan majelis hakim oleh ketua pengadilan. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditetapkan, ketua majelis hakim harus sudah melakukan sidang pertama. Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah menurut ketentuan hukum acara.
Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, berupa melakukan tindakan skorsing dalam proses PHK dan tidak membayar upah dan hak-hak yang biasa diterima pekerja, selama proses perkaranya berlangsung, hakim ketua sidang menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha
Untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja yang bersangkutan. Putusan sela dimaksud dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua. Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan HI.
Putusan sela dan penetapan sita jaminan dimaksud tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak upaya hukum lainnya (Pasal 96 UPPHI).
3) Pembacaan Surat Gugatan
Tidak tercapainya perdamaian diantara para pihak, dicatat dalam berita acara persidangan. Perkara kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan oleh penggugat.
Selesai pembacaan suat gugatan, hakim akan menanyakan apakah penggugat tetap pada gugatannya atau akan melakukan perubahan terhadap gugatan. Setelah penggugat menyatakan pendiriannya, sidang dilanjutkan dengan mendengar jawaban tergugat.
Dalam praktek, biasanya tergugat meminta penundaan sidang, untuk menyusun jawaban tertulis.
4) Jawaban Tergugat
Dalam persidangan kedua, merupakan giliran tergugat untuk memberikan tanggapan atau sanggahan atas gugatan penggugat. Jawaban tergugat pada umumnya berisikan:
a) eksepsi,
b) mengenai pokok perkara,
c) gugatan balik (rekonvensi), dan
d) permohonan (petitum).
a). Eksepsi
Eksepsi berisikan tangkisan, sebagai jawaban tergugat bukan mengenai pokok perkara, biasanya mengenai segi formal dari surat gugatan. Pada dasarnya tangkisan dari tergugat biasanya terhadap dua hal, yaitu mengenai acaranya atau eksepsi prosesuil dan mengenai materinya atau eksepsi material. Untuk lebih jelasnya diuraikan seperti berikut ini:
1). Eksepsi mengenai acaranya atau eksepsi prosesuil (procesueel).
Eksepsi mengenai prosesuil dapat berupa:
(a) Tangkisan dalam hukum acara tentang tidak berwenangnya pengadilan secara absolut (absolute competentie), seperti misalnya mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili perkaranya karena merupakan wewenang absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) (declinatoire exeptie);
(b) Perkara yang diajukan adalah perkara yang telah pernah disidangkan dan belum mendapat penyelesaian akhir dari pengadilan pada tingakt banding, sehingga belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) (exeptie litispendentie);
(c) Perkara yang diajukan adalah perkara yang telah pernah disidangkan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht),
sehingga perkara yang sama tidak dapat dua kali diajukan (ne bis in idem);
(d) Perkara yang diajukan ditolak, karena mengandung cacat formal, antara lain belum semua tergugat ditarik sebagai tergugat (exeptie plurium litis consortium);
(e) Penggugat tidak berkedudukan sebagai kualitas untuk mengajukan gugatan, karena tidak mempunyai hubungan hukum dengan tergugat (exeptie disqualificatoire);
(f) Perkara yang diajukan adalah perkara yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang dalam proses pada lembaga pengadilan atau lembaga yang berwenang, yang belum mendapat putusan (exeptie connexiteit);
(g) Perkara yang diajukan adalah perkara yang belum waktunya diajukan (premature) karena tergugat belum berakhir batas waktunya untuk berfikir (exeptie Van Beraad).
2) Eksepsi material (materiale exeptie)
Yaitu tangkisan tergugat yang didasarkan pada hukum material, yang dapat berupa eksepsi dilator atau eksepsi peremtor:
a. eksepsi dilator (dilatoire exeptie),
yaitu berupa tangkisan yang berdasarkan pada hukum material dan meminta agar perkara jangan diteruskan, atau ditunda. Misalnya karena para pihak sedang dalam proses perdamaian yang belum selesai, atau gugatan belum jatuh tempo;
b. eksepsi peremtor (peremtoire exeptie), yaitu eksepsi yang berdasarkam hukum material dengan tujuan untuk menggagalkan gugatan terhadap pokok perkara. Misalnya dengan alasan kewajiban sudah dipenuhi atau tuntutan telah kedaluwarsa (Lilik Mulyadi, 2002).
b). Mengenai Pokok Perkara Jawaban tergugat dalam pokok perkara merupakan jawaban yang sesungguhnya, yang merupakan inti dari jawaban yang diberikan tergugat atas gugatan yang diajukan penggugat. Tidak ada bentuk-bentuk jawaban tertentu yang diatur oleh ketentuan hukum, yang penting jawaban dibuat dengan singkat, berisi, padat, dan jelas. Bentuk jawaban dapat dilakukan sekaligus, dengan akibat apabila tidak diajukan sekaligus akan gugur. Atau jawaban dapat diberikan secara bertahap, yang dapat menghambat cepatnya jalannya persidangan
Demi kepentingan para pihak yang berkara, sepanjang dalam pemeriksaan, jawaban dapat saja diajukan, dengan tetap menjaga kelancaran persidangan (Pasal 114 ayat (1) Rv, Retnowulan, 1983, dan Sudikno Mertokusumo, 2002).
Jawaban yang diberikan tergugat mengenai pokok perkara ini, dapat berupa menyangkal, mengakui, atau mengemukakan fakta baru.
1) Menyangkal
Bentuk sangkalan itu adalah menolak gugatan tergugat, atau tidak sependapat dengan penggugat, dan menolak dalil-dalil yang diajukan penggugat. Argumentasi sangkalan itu biasanya didasarkan pada bukti otentik yang dimikili tergugat, yurisprudensi, atau pendapat para ahli (doktrin) (Pasal 113 Rv).
2) Mengakui
Ada kalanya dalam mengajukan jawaban, tergugat secara jujur mengakui kebenaran gugatan, walaupun hal itu mungkin tidak dinyatakan secara tegas dalam jawaban tertulis. Selanjutnya tergugat biasanya menyerahkan kepada majelis hakim untuk mengambil kebijakan dalam putusannya.
3) Mengemukakan Fakta Baru
Dalam memberikan jawaban dapat pula terjadi tergugat mengemukakan fakta baru, sehingga tergugat berada pada pihak yang benar. Misalnya tergugat memang tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, akan tetapi hal itu terjadi karena adanya keadaan memaksa (overmacht), atau tergugat dinyatakan pailit.
c). Gugatan Balik (Rekonvensi)
Pada waktu menjawab gugatan penggugat, tergugat dapat pula melakukan gugatan balik (gugatan rekonvensi). Gugatan balik dapat dilakukan secara tertulis atau lisan, sepanjang hal itu dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan mengenai pembuktian. Gugatan balik dilakukan bersama-sama dengan jawaban, dan kedua perkara tesebut diselesaikan bersama-sama dalam satu putusan, sepanjang tuntutan dalam gugatan balik tidak melampaui kewenangan hukum majelis hakim yang memeriksa perkara. Pada dasarnya, gugatan balik dapat dilakukan dalam semua perkara, kecuali dalam hal:
1) Penggugat rekonvensi bertindak dalam kualitas tertentu, sedangkan gugatan balasan ditujukan terhadap diri pribadi penggugat atau sebaliknya;
2) PN yang memeriksa gugatan dalam konvensi tidak berwenang untuk memeriksa gugatan dalam rekonvensi;
3) Perkara yang digugat rekonvensi adalah perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim;
4) Gugatan rekonvensi tidak dilakukan pada tingkat pemeriksaan di PN (Pasal 132 dan Pasal
157 dan 158 RBg).
d). Permohonan (Petitum) Permohonan merupakan kesimpulan dari hal-hal yang diajukan tergugat dalam jawabanya. Pada intinya adalah, meminta agar majelis hakim mengambil putusan dengan menolak atau membenarkan gugatan.
Tidak ada ketentuan mengenai bentuk dan susunan permohonan dari tergugat.
Dalam prakteknya ada yang melakukannya dengan sekaligus
Dapat dilakukan dengan membagi jawaban, secara primer menolak seluruh gugatan penggugat dan subsidair, apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon kiranya diputus dengan seadil-adilnya (Ex Eque et bono).
Dapat juga dilakukan dengan memisahkan, membagi permohonan dalam dalam eksepsi, dalam pokok perkara, dan dalam rekonvensi.
5) Tanggapan Penggugat (Replik) Tanggapan penggugat (replik), merupakan jawaban kembali atas jawaban tergugat, sebagai jawaban balasan dari penggugat atas segala sesuatu hal yang disampaikan oleh tergugat dalam jawabannya. Baik yang berupa eksepsi, mengenai pokok perkara, rekonvensi, maupun petitum dari tergugat. Dalam jawaban rekonvensi, pengugat menjawab sebagai tergugat dalam rekonvensi (Pasal 142 Reglement op de Rechtverordering).
6) Tanggapan Tergugat (Duplik) Dalam persidangan berikutnya (ketiga), giliran tergugat untuk mendapat kesempatan menjawab untuk kedua kalinya (duplik). Dalam jawaban kali ini, tergugat diberi kesempatan untuk menjawab replik dari tergugat. Dengan demikian isi jawaban kedua, merupakan tanggapan atas replik dari penggugat.
7) Pembuktian
a). Pembuktian Oleh Penggugat
Setelah para pihak masing-masing diberi kesempatan beradu argumentasi melalui replik dan duplik, pada acara selanjutnya biasanya kesempatan diberikan kepada penggugat untuk menyampaikan alat bukti.
b). Pembuktian Oleh Tergugat
Demikan juga, tergugat mendapat kesempatan yang sama untuk mengajukan alat bukti yang dimiliki atau yang ingin diajukan, setelah penggugat mengajukan alat buktinya.
Pembuktian oleh tergugat tentunya untuk menyanggah keterangan atau bukti yang diajukan tergugat, seperti misalnya minta untuk dapat dihadirkan saksi.
8) Pemanggilan Saksi
Untuk memperkuat argumentasi para pihak, biasanya mereka mengajukan saksi-saksi untuk di dengar keterangannya di muka sidang. Atau dapat pula meminta keterangan dari saksi ahli, misalnya pegawai pengawas ketenagakerjaan, mediator atau konsiliator yang telah menengahi perkaranya pada tingkat penyelesaian diluar pengadilan.
a). Saksi
Majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya. Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannya di bawah sumpah. Barang siapa yang diminta keterangannya oleh majelis hakim guna penyelidikan untuk PPHI, wajib memberikannya tanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan (Pasal 90 UUPPHI).
b). Saksi Ahli
Majelis hakim dapat pula memanggil saksi ahli untuk dimintai keterangannya. Dalam hal keterangan yang diminta majelis hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, ditempuh prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 UUPPHI).
9) Kesimpulan
Setelah proses pembuktian selesai dilakukan oleh para pihak, dan tidak ada bukti yang ingin diajukan, sementara saksi yang diperlukan telah pula didengar keterangannya, masing-masing pihak sampai pada kesimpulan dari hasil selama persidangan berlangsung.
Pada prakteknya kesimpulan yang dibuat oleh para pihak tentunya yang menguntungkan kepentingannya.
10) Pengambilan Putusan
Apabila para pihak tidak lagi mengajukan penjelasan atau pembuktian, dan telah sampai pada kesimpulan, maka tahapan pemeriksaan telah selesai. Pada gilirannya hakim akan mengambil putusan untuk menyelesaian perkara. Keputusan hakim, adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaiakn suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Keputusan hakim merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut Vonnis yang memuat kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya (Rubini dan Chidir Ali, 1974 dan Sudikno Mertokusumo, 2002).
Putusan hakim yang baik, memuat dua persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Memenuhi kebutuhan teoriti artinya, sebuah putusan hakim itu harus dapat dipertanggung-jawabkan dari segi ilmu hukum, karena tidak jarang putusan dimaksud menjadi yurisprudensi yang dapat merupakan sumber hukum yang baru. Sedangkan yang dimasud dengan memenuhi kebutuhan praktis, ialah bahwa dengan putusan itu diharapkan hakim dapat menyelesaikan perkara hukum yang ada dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa dan masyarakat, karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum (sosiologi hukum) (Purwoto S. Gandasubrata, dalam Lilik Mulyadi 2002).
Dalam putusan Pengadilan HI ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dalam mengambil putusan, majelis hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 97 dan 100 UU. PPHI).
a). Sifat Putusan
Putusan hakim dapat bersifat putusan deklarator, konstitutif, atau kondemnator. Ketiga sifat putusan ini biasanya merupakan satu kesatuan dalam putusan yang diambil oleh hakim, sehingga penyelesaian perkarannya lengkap dan tuntas.
(1). Putusan deklarator
Putusan deklarator (declaratoir vonnis), adalah putusan yang bersifat menerangkan, berupa membenarkan atau menolak, untuk menetapkan suatu keadaan hukum yang dinyatakan oleh penggugat.
(2).Putusan Konstitutif
Putusan Konstitutif (constitutive vonnis), adalah suatu bentuk putusan yang bersifat menghapus bentuk suatu keadaan hukum yang ada dan menetapkan keadaan hukum yang baru. Misalnya putusan yang menyatakan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berakhir.
(3). Putusan Kondemnator
Putusan Kondemnator (condemnatoir vonnis), adalah putusan hakim yang bersifat menghukum salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat (pengusaha) untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan hak-hak pekerja (penggugat) lainnya.
b). Jenis-jenis Putusan
Putusan dapat pula dibedakan menurut jenisnya, dapat dibedakan ke dalam putusan verstek, putusan sela, dan putusan akhir.
(1). Putusan Verstek:
Putusan Verstek (default judgement) adalah bentuk putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara tanpa kehadiran tergugat, padahal untuk itu tergugat telah dipanggil dengan sepatutnya. Apabila tergugat lebih dari satu orang dan yang tidak hadir hanya sebagian dari tergugat, dilakukan pemeriksaan secara biasa, dan kemudian dijatuhkan putusan biasa (contradictoir) ( Pasal 125 ayat (1) HIR dan Pasal 149 ayat (1) RBg).
Dalam pengambilan putusan vestek, majelis hakim memutus dalam empat kemungkinan isi putusan:
(a) seluruh gugatan dikabulkan,
(b) gugatan dikabulkan sebahagian,
(c) gugatan ditolak, atau
(d) gugatan seluruhnya tidak dapat diterima.
(a). Seluruh gugatan dikabulkan
Gugatan akan dikabulkan seluruhnya apabila:
(i) semua tergugat tidak hadir dipersidangan pada hari yang telah ditentukan,
(ii) tergugat juga tidak mengirimkan wakilnya yang syah,
(iii) tergugat telah dipangggil dengan sepatutnya,
(iv) petitum yang diajukan tidak melawan hak, dan
(v) petitum beralasan.
(b). Gugatan dikabulkan sebahagian Gugatan akan dikabulkan sebagian, apabila ada bagian dari gugatan yang ditolak, karena tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum.
(c). Gugatan ditolak
Gugatan ditolak, apabila ternyata petitumnya ternyata melawan hak atau tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum.
(d). Gugatan seluruhnya tidak dapat diterima Gugatan penggugat dinyatakan seluruhnya tidak dapat diterima, apabila ternyata di dalam gugatan terdapat kesalahan formal. Misalnya subyek dari orang yang digugat tidak benar, dan kualitas orang yang mengajukan gugatan adalah orang yang tidak berhak. Atau mungkin pula surat gugatan ditandatangani oleh seorang kuasa yang tidak mempunyai surat kuasa khusus.
(2). Putusan Sela
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya putusan sela. Dalam prakteknya putusan sela diucapkan di dalam persidangan, namun tidak dibuat secara terpisah, tetapi hanya ditulis dalam berita acara persidangan. Putusan Sela hanya dapat dimintakan banding bersama- sama dengan
Permintaan banding terhadap putusan akhir. Bentuk Putusan Sela dapat berupa putusan preparator, putusan interlokutor, putusan insidentil, dan putusan provisionel (Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 190 ayat (1) HIR, Pasal Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 196 ayat (1) Rbg, dan Pasal 48 dan Pasal 332 Rv).
Dalam UUPPHI, mengenai penetapan putusan sela ini ditegaskan bahwa, permintaan putusan sela disampaikan bersama-sama dengan materi gugatan. Putusan sela dapat dilakukan pada persidangan pertama atau yang kedua dihadiri para pihak. Putusan Sela dapat ditetapkan apabila dalam persidangan, ternyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya, berupa melakukan tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK, dengan tidak membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja.
Jadi dapat diambil putusan sela yang berupa putusan provisional, yaitu mengabulkan permintaan
Pihak penggugat agar sementara proses perkara berlangsung, diadakan tindakan pandahuluan guna kepentingan pihak penggugat, sebelum putusan akhir dijatuhkan. Apabila selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan putusan sela tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita jaminan dalam sebuah penetapan Pengadilan HI. Putusan sela dan penetapan, tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 96 UUPPHI).
Selanjutnya, apabila dalam penyelesaian perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan PHK, Pengadilan HI wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
Untuk itu, ketua majelis hakim berwenang untuk mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Pasal 86 dan 108 UUPPHI).
Ketentuan UUPPHI ini memaksa majelis hakim untuk mengambil putusan sela, khusus mengenai status hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja, sebelum selanjutnya memutus perkara
gugatan lainnya, misalnya perselisihan hak (Pasal 1 butir 3 UUPPHI).
(3). Putusan Akhir
Putusan Akhir (eind vonnis), merupakan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim mengenai seluruh pokok perkara untuk mengakhiri penyelesaian gugatan diantara para pihak.
D. UPAYA HUKUM
Hukum Acara Perdata mengenal dua bentuk upaya hukum, yang tentunya berlaku juga dalam Hukum Acara PPHI.
Kedua bentuk upaya hukum dimaksud adalah, upaya hukum biasa, berupa perlawanan (verzet), banding (revisi) dan kasasi (cassatie), dan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (request civil) dan upaya pihak ketiga (derden verzet).
Suatu hal yang khusus dalam PPHI adalah, tidak dibuka upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Oleh karena itu, untuk selanjutnya tidak dibahas mengenai upaya hukum banding.
1. Upaya Hukum Biasa
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan, PPHI melalui Pengadilan HI yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya, dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi.
Putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan hak, dan PHK, dapat langsung dimintakan kasasi ke MA. Sedangkan putusan Pengadilan HI mengenai kepentingan dan antar SP/SB dalam
Satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan kasasi ke MA (Pasal 56, 114 dan 115 UUPPHI).
Dengan demikian, upaya hukum biasa dalam Hukum Acara Perdata yang dapat dilakukan para pihak dalam PPHI hanya perlawanan dan kasasi.
a. Perlawanan
Upaya hukum berupa perlawanan (verzet) dilakukan tergugat atas putusan yang dijatuhkan dengan tidak hadirnya tergugat (verstek).
Upaya perlawanan dilakukan sendiri oleh tergugat kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek. Perlawanan terhadap putusan verstek tidak diputus sebagai perkara baru (Pasal 123 jo. Pasal 129 HIR, Pasal 153 RBg, dan Putusan MA Nomor: 307/Sip/1975)
Tenggang waktu dalam melakukan upaya hukum perlawanan ini, ditentukan sebagai berikut:
1) 14 hari terhitung sejak putusan verstek diberitahukan kepada terugat secara sah;
2) sampai dengan hari kedelapan setelah dilakukan pelasanaan putusan, dalam hal pemberitahuan putusan verstek tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri;
3) Hari ke 14 setelah dilaksanakan perintah tertulis, apabila tergugat tidak datang menghadap setelah dipanggil secara patut (Pasal 129 ayat (1), 196 dan 197 HIR, dan Pasal 153 ayat (1), 207dan 208 RBg).
Dalam persidangan perlawanan, kedudukan pelawan (opposant) tetap sebagai tergugat. Sedangkan beban pembuktian diletakkan pada tergugat. Perlawanan terhadap putusan verstek hanya dapat dilakukan sekali saja. Apabila putusan perlawanan kembali diputus dengan putusan verstek, tergugat tidak dapat melakukan perlawanan untuk yang kedua kali, karena tidak akan diterima. Upaya perlawanan tergugat dapat ditolak, atau dikabulkan. Apabila perlawanan tergugat
ditolak, upaya hukum selanjutnya yang dapat dilakukan oleh tergugat adalah mengajukan kasasi, khusus untuk perkara perselisihan hak dan PHK (Pasal 129 ayat (5) HIR, Pasal 153 ayat (6) dan 200 RBg, dan Pasal 56 UUPHI).
b. Kasasi Kasasi (cassatie) secara harfiah berarti membatalkan atau memecahkan suatu perkara yang diputus oleh pengadilan dibawah MA. Pengertian kasasi, adalah pembatalan atas putusan pengadilan dalam tingkat terakhir, penetapan dan perbuatan pengadilan lain dan hakim yang bertentangan dengan hukum.
Ketentuan mengenai tata cara kasasi di bidang perdata, prosesnya seperti berikut ini. Terhadap putusan yang diambil dalam tingkat akhir oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum biasa (rechterlijke beslissingen), yang merupakan putusan dari pengadilan yang sesungguhnya, selain dari putusan MA sendiri, dapat dimintakan kasasi kepada MA (Sudikno Mertokusumo, 2002).
Permohonan kasasi dapat diajukan oleh para pihak yang berkepentingan, yang dapat diajukan hanya satu kali. Pelaksanaannya dapat mewakilkan kepada seseorang yang diberi kuasa secara khusus. Pada dasarnya, permohonan kasasi dapat disampaikan secara tertulis atau lisan melalui panitera pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama, yang telah memutus perkaranya. Dalam mengajukan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan dilakukannya kasasi. Penyampaian memori kasasi dimaksud dilakukan paling lama 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat.
Apabila dalam tenggang waktu 14 hari tersebut tidak dilakukan permohonan kasasi dari pihak yang berperkara, para pihak dianggap telah menerima putusan.
Bagi pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi, menyampaikan secara tertulis melalui
Sub Kepaniteraan Pengadilan HI.
Sub Kepaniteraan Pengadilan HI dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi menyampaikan berkas perkara kepada Ketua MA ( Pasal 111 dan 112 UUPPHI).
Setelah pemohon membayar biaya perkara, dalam PPHI apabila perkaranya lebih dari 150 juta, panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar untuk itu.
Pada hari yang sama membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. Setelah permohonan kasasi terdaftar, panitera memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan kasasi tersebut, kepada pihak lawan (Pasal 46 UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).
Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi (surat jawaban termohon kasasi), panitera PN setempat mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada MA, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari (Pasal 48 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).
Untuk Putusan Pengadilan HI, berlaku ketentuan khusus. Putusan pada Pengadilan HI mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK, mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada MA dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja:
a) bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis hakim, dan
b) bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan (Pasal 110 UUPPHI).
2 .Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa, dapat berupa peninjauan kembali, atau upaya pihak ketiga.
A .Peninjauan Kembali
Upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK) (request civil), merupakan suatu upaya agar putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena tidak ada ketentuan khusus dalam PPHI, tentunya termasuk pula putusan Pengadilan HI atau putusan MA untuk perkara PPHI, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dapat dilakukan upaya hukum PK. Permohonan PK dapat dilakukan oleh para pihak yang berperkara, kuasa, atau ahli warisnya. Apabila selama proses PK pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat diajukan oleh ahli warisnya.
Permohonan PK hanya dapat dilakukan satu kali terhadap satu perkara. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus, dan apabila sudah dicabut, permohonan PK tidak dapat diajukan lagi (Pasal 66 ayat (1) dan (3), dan 68 UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).
Permohonan PK atas putusan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan apabila didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2) Setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
3) Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut ;
4) Mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangan sebab-sebabnya;
5) Antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya;
6) Dalam suatu putusan terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata (Pasal 67 UU No. 14 tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).
Tenggang waktu pengajuan permohonan PK adalah 180 hari, untuk hal-hal sebagai berikut:
1) Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan, yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
2) Setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
3) Telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, atau apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangan sebab-sebabnya, atau apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
4) Antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya, sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara (Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2004).
Permohonan PK diajukan kepada Ketua MA, melalui Ketua PN yang memutus perkara pada tingkat pertama. Untuk itu, pemohon dikenai biaya perkara, kecuali untuk perkara PPHI apabila nilai gugatannya kurang dari 150 juta rupiah (Pasal 70 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004, dan Pasal 58 UUPPHI).
Dengan dilakukannya upaya hukum PK, tidak menangguhkan atau mengentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk melindungi pihak yang menang dalam berperkara, ketua majelis hakim Pengadilan HI dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004, dan Pasal 108 UUPPHI).
Permohonan PK diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan. Permohonan dimasukkan ke kepaniteraan PN yang memutus perkara pada tingkat pertama. Apabila pemohon tidak dapat menulis, pemohon menguraikan secara lisan di hadapan Ketua PN atau hakim yang ditunjuk, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut dan alasan-alasannya (Pasal 71 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).
Panitera Pengadilan setempat dalam waktu 14 hari wajib mengirimkan/memberikan salinan permohonan PK kepada lawan pemohon dengan maksud, jika PK didasarkan atas suatu kebohongan/tipu muslihat atau bukti palsu berdasarkan putusan hakim, maka pihak lawan ada kesempatan mengajukan jawabannya.Apabila permohonan PK diajukan atas alasan, putusan melibih dari yang dituntut, ada bagian tuntutan yang belum diputus, ada putusan atas perkara yang sama yang putusanya bertentangan, atau terdapat kekhilafan/kekeliruan hakim yang nyata, alasan-alasan dimaksud dapat diketahui oleh pihak lawan.
Tenggang waktu pihak lawan mengajukan jawaban adalah 30 hari setelah diterimanya salinan permohonan PK. Surat jawaban diserahkan/dikirimkan kepada Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pada surat jawaban dimasud oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut.
Salinan jawaban dimaksud disampaikan/ dikirimkan kepada pemohon PK. Permohonan PK beserta berkas perkara dan biayanya, oleh panitera pengadilan PN dikirimkan ke MA selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari. Untuk permohonan PK, tidak diadakan surat menyurat antara pemohon dan/atau pihak lain dengan MA (Pasal 72 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004).
b. Upaya Pihak Ketiga
Upaya hukum pihak ketiga (derden verzet), merupakan upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga melawan putusan hakim yang merugikan kepentingannya. Dalam perkara perdata umum, praktek yang berlangsung dalam kasus gugatan oleh pihak ketiga ini misalnya mengenai sita atas dasar milik, dimana barang yang disita adalah barang milik pihak ketiga. Perlawanan pihak ketiga diajukan kepada Ketua PN yang melakukan penyitaan (Pasal 195 ayat (6) HIR, dan Pasal 206 ayat (6) RBg).
Dalam perkara PPHI, upaya hukum ini dapat terjadi, misalnya ada perselisihan hak yang diputus oleh pengadilan HI. Putusan tersebut menetapkan hak-hak pekerja dan mengabulkan sita jaminan yang diajukan pekerja, misalnya terhadap mobil yang dipergunakan oleh perusahaan. Ternyata mobil tersebut adalah mobil yang disewa perusahaan dari pihak ketiga. Dalam hal ini pemohon (pemilik mobil) mengajukan permohonan agar putusan sita jaminan atas mobil dimaksud, yang menjadi pokok perlawanan dari pihak ketiga selaku pemohon, dapat dibatalkan.
E. PELAKSANAAN PUTUSAN
Dalam Hukum Acara Perdata, dikenal tiga macam eksekusi, yaitu:
1) membayar sejumlah uang,
2) melakukan suatu perbuatan, dan
3) mengosongkan barang tidak bergerak.
1. Membayar Sejumlah Uang Untuk melaksanakan hukuman yang berupa pembayaran sejumlah uang dilakukan dengan penjualan melalui lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah dalam berperkara, sampai dapat melunasi seluruh kewajibannya, ditambah biaya pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dilakukan terhadap barang-barang pihak yang kalah yang dalam proses berperkara, yang telah ditentukan sebagai sita jaminan atau belum. Pada tahap pertama, PN meletakkan sita eksekusi (executoir beslag) atas barang-barang milik pihak yang kalah dalam berperkara. Penjualan barang dimulai dari barang bergerak, apabila belum mencukupi baru terhadap barang tidak bergerak. Biasanya eksekusi dilakukan didahului dengan pengumuman lelang (Pasal 197 HIR dan Pasal 208 RBg).
2. Melakukan Suatu Perbuatan
Dalam prakteknya eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan adalah eksekusi yang hanya dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang kalah secara sukarela, seperti misalnya kewajiban untuk mempekerjakan kembali pekerja. Apabila pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan hukuman untuk melakukan suatu perbuatan dalam waktu yang ditentukan,pihak yang menang berperkara berperkara dapat meminta kepada Ketua PN agar perbuatan yang sedianya dilaksanakan tersebut oleh pihak yang kalah, diganti dengan nilai sejumlah uang (Pasal 225 HIR dan Pasal 259 RBg).
Dalam pelaksanaan penilaian penggantian dengan sejumlah uang ini, penilaiannya dilakukan oleh Ketua PN yang bersangkutan, dengan mengganti putusan majelis hakim yang memutus perkara dengan putusan baru. Ketentuan yang sama juga dapat dilakukan terhadap putusan MA, penetapan putusan atas penilaian penggantian dengan sejumlah uang ini, dilakukan tidak dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1969).
3. Mengosongkan Barang Tidak Bergerak
Pelasanaan mengosongkan barang yang tidak bergerak (eksekusi riil), dilaksanakan apabila pihak yang kalah berkara tidak bersedia melaksanakan putusan dengan sukarela. Pelaksanaannya dilakukan oleh jurusita. Barang tidak bergerak itu, dikosongkan dari orangyang menempatinya dan segala barang yang ada didalamnya (Pasal 1033 Rv).
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada tingkat Pengadilan Negeri, secara skematik dapat digambarkan sebagaimana bagan pada halaman berikut.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PADA PENGADILAN NEGERI PENCATATAN GUGATAN
PERSIAPAN PERSIDANGAN PROSES PERSIDANGAN
Penetapan Majelis Hakim
Pemeriksaan Gugatan
Penetapan Hari Sidang
Pemanggilan Para Pihak
Sita Jaminan
Sita Revindikator
Sita Konservator
Kehadiran Para Pihak
Acara Pemeriksaan
Pembacaan Surat Gugatan
Jawaban Tergugat
Tanggapan Penggugat
(Replik)
Tanggapan Tergugat
(Duplik)
Pembuktian
Kesimpulan
Pengambilan Putusan