BANTUAN HUKUM DALAM UU
KEDUDUKAN PEMBERI BANTUAN HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT
Erry Meta.SH
Program Studi
Magister Ilmu Hukum
Program
Pascasarjana
Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya
Setiap
orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and
impartial court). Hak ini merupakan hak dasar setiap manusia. Hak ini bersifat
universal, berlaku di mana pun, kapan pun dan pada siapapun tanpa ada
diskriminasi.
Sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, terdapat
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan
dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma selanjutnya disingkat
dengan PP No 83 Tahun 2008. Sebelum di undangkannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 belum terdapat definisi bantuan hukum secara terpat. Setelah di
sahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tanggal 31 oktober 2011
terdapat pengertian menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 secara jelas
kedudukan pemberi bantuan hukum. Bantuan hukum merupakan suatu hak yang dapat
dituntut oleh setiap subjek hukum ketika ia memerlukannya. Sementara peran dan
fungsi Advokat dalam pemberian bantuan hukum merubakan kewajiban advokat
sebagaimana di dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang menyatakan: ”advokat wajib memberikan bantuan hukum
cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.
Kontradiksi yang
akan timbul dalam kedua undang-undang tersebut adalah berkaitan dengan hak dan
kewajiban seorang pemberi bantuan hukum, dalam hal menjalankan dan melaksanakan
bantuan hukum. Advokat tidak dapat dituntut baik pidana maupun perdata dalam
hal membela dengan itikat baik dengan bepegang kode etik. Hal senada juga
dimiliki oleh pemberi bantuan hukum diatur dala Pasal Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011, pemberi bantuan hukum tidak dapat dituntut baik pidana maupun
perdata dalam hal membela dengan itikat baik dengan bepegang kode etik, kode
etik yang dimaksud adalah kode etik advokat.
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 mengatur secara tegas pemberi bantuan hukum merupakan
oraganisai berbadan hukum bukan perorangan (in
person), pertangungjawaban dan pengawasan sangat berbeda. Pemberi bantuan
hukum yang diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan HAM dan di laksanakan oleh
pemberi bantuan hukum, artinya secara hirarki sudah berbeda, mengapa harus
tunduk pada kode etik yang dirumuskan dan di laksanakan oleh Advokat.
Kata Kunci :
Kedudukan Pemberi Bantuan Hukum,
Undang-Undang Advokat, Undang-Undang Bantuan Hukum.
1.1.
Pendahuluan
Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil
dan tidak memihak (fair and impartial court). Hak ini merupakan hak dasar
setiap manusia. Hak ini bersifat universal, berlaku di mana pun, kapan pun dan
pada siapapun tanpa ada diskriminasi[1]. Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan
kewajiban negara. Setiap warga negara tanpa memandang suku, warna kulit, status
sosial, kepercayaan dan pandangan politik berhak mendapatkan akses terhadap
keadilan. Indonesia sebagai negara hukum menjamin kesetaraan bagi warga
negaranya di hadapan hukum dalam dasar negara dan konstitusi.
Pemberian bantuan hukum dipandang sebagai suatu tanggung jawab sosial dalam
rangka penegakan hukum kepada siapapun tanpa pandang bulu.
Hak atas
bantuan hukum merupakan salah satu hak yang terpenting yang dimiliki oleh
setiap warga negara (access of legal council). Karena dalam setiap
proses hukum, khususnya hukum pidana, pada umumnya setiap orang yang di tetapkan
sebagai tertuduh dalam suatu perkara pidana, tidaklah mungkin dapat melakukan
pembelaan sendiri dalam suatu proses hukum, dalam pemeriksaan hukum
terhadapnya. Dengan demikian tidaklah mungkin seorang tersangka dalam suatu
tindak pidana melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri dalam suatu proses
hukum pemeriksaan dirinya sedangkan dia adalah tersangka dalam suatu tindak
pidana yang dituduhkan kepadanya tersebut. Oleh karena itu tersangka/ terdakwa
berhak dan harus didampingi oleh penasihat hukumnya.
Bantuan
hukum merupakan hak bagi setiap warga negara yang sedang mengalami permasalahan
hukum, khususnya perkara pidana. Hak tersebut merupakan hak yang paling
berharga bagi tersangka atau tertuduh di dalam suatu perkara pidana. Adanya
bantuan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi tersangka
yang sedang mengalami proses hukum, untuk mencegah timbulnya pemaksaan,
pelanggaran hak-hak asasi, dan kesewenang-wenangan yang dapat timbul pada saat
proses pemeriksaan perkara, dan memberikan pembelaan bagi tersangka, baik
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan ataupun dalam tingkat pemeriksaan di
persidangan.
Bantuan yang dimaksud dalam program bantuan hukum bagi
masyarakat tidak mampu, adalah bantuan jasa diatur dalam ketentuan Pasal 4
Undang-Undang 16 Tahun 2011 yang menjelaskan:
Pasal 4
(1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan
Hukum yang menghadapi masalah hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi
maupun nonlitigasi.
(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Dasar
Pemberian Bantuan hukum kepada
masyarakat yang tidak mampu dengan pemberian jasa hukum secara cuma-cuma
diatur dalam :
1.
Pasal
56 ayat (1) dan Pasal 57, ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
2.
Pasal
68B dan Pasal 68C Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
3.
Pasal 60B dan Pasal 60C Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang Peradilan
Agama
4.
Pasal
22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
5.
Pasal
42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
6.
Pasal
56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
7.
Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor : 10 Tahun 2010, tentang Pedoman Bantuan Hukum.
8.
Undang-Undang
No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Semangat
lahirnya Undang-Undang
No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum akan menjadikan masalah yang cukup besar. Masalah tersebut
merupakan benturan pemberi hukum dengan advokat yang juga memiliki kewajiban
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Kejelasan pemberi bantuan hukum
dalam Undang-Undang
No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum tidak perlu seorang advokat, meskipun advokat sendiri
merupakan suatu profesi yang mulia (officium
nobile) sudah dijamin oleh undang-undang, tetapi di dalam subtansi Undang-Undang No
16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum cukup organisasi kemasyarakatan yang memiliki
pengurus.
Untuk menghindari pertentangan
pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma dan kewajiban advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma sehingga
akan jelas kedudukan masing-masing dalam menjalankan amanah dari undang-undang
tersebut, serta memahami ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut Bagaimana kedudukan pemberi bantuan hukum serta perlindungan hukum pemberi bantuan hukum dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ?
1.3.
Studi Pustaka
dan Analisis.
Istilah
bantuan hukum sering diartikan secara berlain-lainan. Membuat suatu rumusan
yang tepat mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah
tidak mudah. Ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama
konsep bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua
istilah asing yang berbeda, yaitu legal
aid dan legal assistence[2].
Istilah legal aid dipergunakan untuk
menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit yang berupa pemberian
jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara
secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian yang menjadi
motivasi utama dalam konsep legal aid
adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat
kecil yang tidak mampu dan buta hukum.[3]
Sedangkan
pengertian legal assistence
mengandung pengertian yang lebih luas dari legal
aid, istilah legal assistence
dipergunakan untuk menunjuk pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada
mereka yang yang tidak mampu yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberian
bantuan hukum oleh para penasehat hukum yang mempergunakan honorarium.[4]
Disamping kedua istilah tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan
hukum, dikenal juga istilah legal
services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan
istilah pelayanan hukum. Konsep legal
services mencakup pengertian yang lebih luas lagi daripada dua konsep
bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal
services tercakup kegiatan :
1.
Memberi
bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan
menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam penegakan dan pemberian
jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat
kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan.
2.
Dan
dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang
memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak
hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap
anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin.
3.
Disamping
untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada
setiap orang, legal services dalam operasionalnya lebih cenderung untuk
menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian.[5]
Kedua,
perkembangan paradigma mengenai hukum yaitu hubungan hukum dengan hal-hal lain
diluar hukum. Kini dikenal juga istilah advokasi. Konsep advokasi mencakup
pengertian yang lebih luas lagi dari ketiga konsep diatas. Dalam konsep
advokasi tercakup kegiatan-kegiatan yang menyangkut aktivitas mempengaruhi
penguasa tentang masalah-masalah yang menyangkut rakyat, terutama mereka yang
telah dipinggirkan dan dikucilkan dari proses politik.[6] Jadi
dalam konsep advokasi tercakup juga aktivitas-aktivitas yang bertujuan politis.
Hukum dipandang sebagai fenomena sosial yang tidak terlepas dari fenomena
sosial lainnya seperti politik dan ekonomi.
Pemikiran
Clarence J. Dias memperkenalkan pula istilah “Legal Service” yang lebih
tepat diartikan “Pelayanan Hukum”. Menurut Dias, yang dimaksud dengan bantuan
hukum adalah:
Segala bentuk
pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak di dalam masyarakat
dengan maksud untuk menjamin agar tidak
ada seorangpun di dalam masyarakat yang terampas haknya untuk memperoleh
nasihat-nasihat hukum yang diperlukan hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya
sumber daya finansial yang cukup[7].
Sementara
itu, istilah “Legal Service” ia
artikan sebagai: Langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi
sistem hukum di dalam kenyataannya tidak akam menjadi diskriminatif sebagai
akibat adanya perbedaan tingkat penghasilan, kekayaan, dan sumber-sumber
lainnya yang dikuasai individu-individu di dalam masyarakat[8].
Disebutkan
juga dalam pemikiran Dias, Pelayanan Hukum akan mencakup pelbagai macam
kegiatan, yang meliputi:
1. Pemberian bantuan hukum.[9]
2. Pemberian bantuan untuk menekan tuntutan agar suatu
hak yang diakui oleh hukum, tetapi selama ini tidak pernah diimplementasikan,
tetap dihormati.[10]
3. Usaha-usaha agar kebijaksanaan hukum yang menyangkut
kepentingan orang miskin dapat diimplementasikan secara lebih positif dan
simpatis.[11]
4. Usaha-usaha untuk meningkatkan kejujuran serta
kelayakan prosedur di pengadilan dan di aparat-aparat lain yang menyelesaikan
sengketa melalui usaha perdamaian.[12]
5. Usaha-usaha untuk memudahkan pertumbuhan dan
perkembangan hak-hak di bidang yang belum dilaksanakan atau diatur dalam hukum
secara tegas.[13]
6. Pemberian bantuan-bantuan yang diperlukan untuk
menciptakan hubungan kontraktual badan-badan hukum atau ormas-ormas yang
sengaja dirancang untuk memaksimalkan kesempatan dan kemanfaatan yang telah diberikan
oleh hukum.[14]
Lain
halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka bantuan hukum
biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu :
1.
Bantuan
hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan penyuluhan hukum kepada
warga masyarakat luas.
2.
Bantuan
hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang lazim disebut dengan
konsultasi hukum.
3.
Bantuan
hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan hukum konkrit secara aktif.
Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga
masyarakat yang kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis.
4.
Bantuan
hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk memancing yurisprudensi yang
lebih tegas, tepat, jelas, dan benar.
5.
Bantuan
hukum pembaharuan hukum yang mencakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan
hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang dalam arti materil.[15]
Beberapa
perumusan tentang bantuan hukum yang telah dikemukakan diatas ternyata terdapat
berbagai persepsi mengenai bantuan hukum. Berbagai persepsi yang timbul
tersebut merupakan akibat dari pertama, pengunaan istilah bantuan hukum sebagai
dua istilah asing yang berlainan, kedua timbul dari hubungan antara hukum
dengan hal-hal lain diluar hukum seperti politik dan ekonomi dan ketiga
hubungan antara negara atau pemerintah dengan realisasi tujuan bantuan hukum.
Meskipun
demikian dari perumusan tersebut masih dapat ditemukan persamaan-persamaan yang
merupakan prinsip dari bantuan hukum. Adapun prinsip tersebut secara
keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Bantuan
hukum merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan suatu pendidikan khusus dan
keahlian khusus, ia merupakan suatu pekerjaan yang bersifat profesional.
2.
Bantuan
hukum merupakan suatu pekerjaan pemberian jasa, dimana ada orang tertentu yang
memberikan jasa kepada orang yang memerlukan.
3.
Bantuan
hukum merupakan hak, artinya ia merupakan sesuatu yang dapat dituntut
pemenuhannya oleh setiap subjek hukum.[16]
Istilah
advokat identik dengan advocato,
attoeney, rechtsanwant, barrister, procureur, advocaat, abogado dan
lainnya. Dalam praktek hukum di Indonesia, Advokat juga dikenal sebagai
Pengacara, Konsultan hukum. Istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian
yang cukup bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum
disebut sebagai lawyer atau ahli hukum. Perbedaan pengertian disini
adalah antara peran yang diberikan oleh lawyer yang memakai istilah
Advokat, pengacara dan penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial
lawyer atau secara spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney
at law serta di Inggris dikenal istilah barrister, dan peran yang
diberikan oleh lawyer yang menggunakan istilah konsultan hukum yang di
Amerika dikenal dengan istilah counselor at law atau di Inggris dikenal
dengan istilah solicitor.[17]
Kata Advokat
itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to
defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam
bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by
argument, to support, indicate or recommend publicly, dalam Kamus Hukum Advocaat/ Advocaat En Procureur bahasa
aslinya Belanda yang artinya Penasehat Hukum dan Pembela Perkara atau
Pengacara.[18]
Secara umum istilah advokat dapat
kita lihat sebagai berikut :
a.
Ensiklopedia
Amerika, disebutkan; “advocate, a person
who pleads for a client in court as apposed to an attorney who acts as the
clent’s agen by furnishing the advocate with information as to the fact of the
case. The dictricion between the two is not abserved in the United State where
the same person generally performs both functions”.
b.
Black’s Law
Dictionary,Fifth Edition; “to speak in fovor of or defend by argument;
one who assists, defends, or pleads for another; ne who reders legal advice and
aid and pleads the cause of another a court or a tribunal, a conselor”.
c.
Deklarasi
dari World Conference on the Independence of Justice c.q Universal Delaration
on the independence f justice yang diadakan di montreal, Kanada pada tanggal
5-10 Juni 1983, merumuskan sebagai
berikut; “lawyer means a person qualifed
and authorized to practice before the court and to advise and represent his
clients in legat matters”.
d.
International
Bar Association (IBA) sebagai organisasi internasional terbesar di dunia
lawyers, masyarakat hukum (law
Socienties) dan assosiasi lawyers nasional, yang didirikan di New York
State tahun 1947, dalam point 1 IBA Standard
For The Independece of the Legal Profession mnyatakan bahwa; “Every person having the necessary
qualifications in law shall be entitled to become a lawyer and to continue in
practice without discrimination”.[19]
Menurut Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Hak atas Bantuan Hukum telah diterima
secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). Pasal
16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh
perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi.
Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan
Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar
Advokat.
Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan
sebagai tanggung jawab negara namun ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak
asasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum.
Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya
untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui
dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses
terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality
before the law). Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan
perhatian secara memadai, sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan
Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi
orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan
di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus
diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini. [20]
Sebelum
adanya UU Bantuan Hukum, terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara
Cuma-Cuma selanjutnya disingkat dengan PP No 83 Tahun 2008. Di dalam Peraturan
tersebut, memberikan pengertian mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma yaitu
jasa hukum yang di berikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium
meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan
yang tidak mampu.
Profesi advokat
berada di garis depan dalam memperjuangkan kehidupan yang berkeadilan,
berperspektif hak asasi manusia dan demokrasi yang umumnya di negara Indonesia
merupakan persoalan mendasar terutama di kalangan kaum miskin dan yang
tergolong tidak mampu.
Profesi advokat
dihadapkan pada dualisme yaitu di satu sisi, advokat tidak dapat di pungkiri
adanya kebutuhan untuk dapat terus menjaga eksistensinya, baik dalam sistem
kekuasaan kehakiman yang yurisdiksinya di sediakan oleh negara maupun dalam
sistem sosial yang legitimasinya di berikan oleh publik. Di sisi lain, advokat
terikat dengan panggilan profesi yaitu memberikan bantuan hukum dengan
cuma-cuma, terutama kepada kalangan masyarakat yang secara ekonomi tergolong
msikin dan tidak mampu. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 22 Ayat (1) yang
menyatakan: ”advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu”. Fungsi dan peran advokat dalam penegakan hukum (law
enforcement) dalam praktiknya lebih dekat dengan masyarakat yang dalam hal
ini masyarakat yang membutuhkan dan mendambakan keadilan (justice).
Salah satu kewajiban yang diatur dalam
pasal 22 ayat (1) UU Advokat yang menjelaskan: Advokat wajib memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, selanjutnya
ketentuan ayat (2) yang pada pokoknya menjelaskan kewajiban pemberian bantuan
hukum. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun
2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang menjelaskan; Advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma‑cuma kepada pencari keadilan.
Secara
ideal dapat di jelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial
dari advokat. Oleh sebab itu maka advokat di tuntut agar dapat mengalokasikan
waktu dan juga sumber daya yang di milikinya untuk orang miskin yang
membutuhkan bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya di pandang
sebagai suatu kewajiban namun harus di pandang pula sebagai bagian dari
kontribusi dan tanggung jawab sosial (social
contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi
sosial dari profesi advokat. UU Advokat telah mengatur secara tegas mengenai
kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai
bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban
profesi maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban profesi sehingga dapat di berlakukan sanksi.
UU Bantuan Hukum mengatur pemberian bantuan hukum
secara kelembagaan, bukan secara perorangan, beda halnya dengan seorang advokat
atau organisasi advokat dapat melakukan bantuan hukum selain perorangan juga
dapat secara kelembagaan. Dalam ketentuan UU Bantuan Hukum seorang paralegal,
dosen atau mahasiswa hukum senada dengan itu Pasal 1 angka (3) UU Bantuan Hukum
yang menjelaskan bahwa: Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
Undang-undang ini. Syarat-syarat pemberi bantuan hukum pada Bab IV Pasal 8 ayat
(2) UU bantuan Hukum:
a.
Berbadan hukum;
b.
Terakreditasi
berdasarkan Undang-Undang ini;
c.
Memiliki kantor
atau sekretariat yang tetap;
d.
Memiliki
pengurus; dan
e.
Memiliki program
Bantuan Hukum.
Untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pemberian bantuan hukum dan
bantuan hukum yang diatur dalam UU Advokat maupun UU Bantuan Hukum di butuhkan
metoda pendekatan perbandingan hukum (comparative
law), oleh hanya dengan metoda inilah akan dapat diketahui adanya persamaan
dan perbedaan antara pemberi bantuan hukum serta bantuan hukum.
Perbandingan
Hukum adalah cabang ilmu (hukum) yang memperbandingkan sistem-sistem hukum yang
berlaku di dalam sesuatu atau beberapa masyarakat.[21]
Yang di maksudkan dengan memperbandingkan di sini ialah mencari dan mensinyalir
perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan
meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di
dalam praktek serta faktor-faktor non-hukum yang mana saja yang mempengaruhinya[22]
Dapat
diperhatikan perbandingan dalam bagan dibawah ini antara UU Advokat dan UU
Bantuan Hukum:
Tabel
5.1
PERBANDINGAN
|
UU ADVOKAT
|
UU BANTUAN
HUKUM
|
Pengertian
|
Pasal
1 angka (9) jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cumacuma
|
Pasal 1 angka
(1) jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-Cuma
|
Ruang lingkup
|
Pasal
1 angka (1) jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan
|
Pasal 4 ayat
(2) perdata, pidana, dan TUN ,litigasi dan Nonlitigasi
|
Pelaksana
Bantuan Hukum
|
Pasal 22
sebagai kewajiban advokat/ perorangan/ oraganisasi
|
Pasal 1 angka (3) LBH atau Organisasi
kemasyarakatan
|
Syarat Pemberi
bantuan hukum
|
Pasal 2, 3
& 4 Sarjana hukum, pendidikan khusus, dilantik dan disumpah di Pengadilan
Tinggi
|
Pasal 8
Berbadan Hukum,terakreditasi, memiliki kantor, pengurus& Program bantuan
hukum
|
Status
|
Pasal 5
berstatus sebagai penegak hukum
|
-
|
Hak &
Kewajiban
|
Pasal 14
sampai 20 bebas mandiri dan memiliki hak imunitas berpedoman kode etik
|
Pasal 9 sampai
11 pelayanan bantuan hukum, anggaran bantuan hukum, memberikan bantuan hukum,
hak imunitas berpedoman kode etik
|
Peraturan
organisasi
|
Pasal 26 Kode
etik Advokat
|
Implisit pasal
11 Kode etik Advokat
|
Honorarium
|
Pasal 21
Mendapat imbalan honorarium
|
Pasal 16 dan
20 Prodeo/ tidak mendapatkan honorarium/ bayaran/ anggaran negara
|
Penegakan
Aturan organisasi
|
Pasal 26 dan
27 Pengawasan dan Tata cara sanksi
|
-
|
Ketentuan
pidana
|
Pasal 31
(tidak mempunyai kekuatan mengikat) vide Putusan MK perkara
No.066/PUU-II/2004
|
Pasal 21 dalam
hal pemberi bantuan hukum meminta bayaran dari penerima bantuan hukum penjara
1 tahun denda Rp.50 juta
|
Bahwa bila di perhatikan dari
tabel diatas dapat di lihat bila ada beberapa kesamaan dan perbedaan-perbedaan
dan juga kontradiksi, persaman dalam hal bantuan hukum sangat setuju bahwa
bantuan hukum merupakan jasa hukum yang di berikan secara cuma-cuma kepada
penerima bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan atau secara
Litigasi dan Non-Litigasi.
Persamaan lain
juga dapat di lihat ruang lingkup dari jasa hukum meliputi Pidana, Perdata dan
Tata Usaha Negara. Perbedaan antara UU Bantuan Hukum dan UU Advokat memasuki
subtansi syarat-syarat pemberi bantuan hukum, serta aturan dasarnya. Sedikit
mengulang bahwa pelaksanaan bantuan hukum diatur dalam UU Advokat di lakukan
advokat secara perorangan atau organisasi, berbeda dengan UU Bantuan Hukum yang
melaksanakan hanya organisasi berbadan hukum/ kelembagaan.
Perbedaan yang
sangat utama adalah status disini Advokat sebagai penegak hukum yang
kedudukannya sama dengan penegak hukum lainnya seperti Polisi, Jaksa dan Hakim,
sementara pemberi bantuan hukum tidak berstatus sebagai penegak hukum.
Kontradiksi yang
akan timbul dalam kedua undang-undang tersebut adalah berkaitan dengan hak dan
kewajiban seorang pemberi bantuan hukum, dalam hal menjalankan dan melaksanakan
bantuan hukum. Advokat tidak dapat di tuntut baik pidana maupun perdata dalam
hal membela dengan itikat baik dengan bepegang kode etik. Hal senada juga di miliki
oleh pemberi bantuan hukum diatur dala Pasal 11 UU Bantuan Hukum, pemberi
bantuan hukum tidak dapat dituntut baik pidana maupun perdata dalam hal membela
dengan itikat baik dengan bepegang kode etik, kode etik yang dimaksud adalah
kode etik advokat.
Kontradiksi
kewenangan antara advokat dan pemberi bantuan hukum yang notabene bukanlah seorang advokat, sementara kode etik tersebut
mengatur dan menjadi pedoma bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Pemberi
bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum secara sukarela tunduk pada kode etik
advokat, tentunya akan mejadi masalah besar di kemudian hari jika pedoman dasar
dalam menjalankan profesi tersebut dilakukan oleh orang yang bukan advokat. UU
bantuan hukum mengatur secara tegas pemberi bantuan hukum merupakan oraganisai
berbadan hukum bukan perorangan (in
person), pertangungjawaban dan pengawasan sangat berbeda. Pemberi bantuan
hukum yang di selenggarakan oleh Menteri Hukum dan HAM dan di laksanakan oleh
pemberi bantuan hukum, artinya secara hirarki sudah berbeda, mengapa harus
tunduk pada kode etik yang dirumuskan dan di laksanakan oleh Advokat.
Beberapa
Asas-asas dalam Peraturan Perundang-undangan yang
selama ini kita ketahui:
a. Asas
Undang-Undang tidak berlaku surut.
Asas yang menyatakan bahwa
”undang-undang tidak berlaku surut“, mensyaratkan peraturan perundang-undangan
hanya berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang di lakukan sejak peraturan
perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku atau berlaku atas peristiwa
sebelum peraturan perundang-undangan itu diberlakukan. Jika suatu peraturan
perundang-undangan akan diberlakukan surut, maka harus diambil ketentuan yang
paling menguntungkan pihak yang terkena. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1
ayat (1) KUH Pidana yang menyatakan, “tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali
atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana yang mendahulukan“ (Geen
feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling).
b. Asas Lex
superior derogat legi inferiori.
Asas ini berlaku apabila terjadi
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berbeda
(yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi), maka dengan demikian peraturan
perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah harus di sisihkan. Dalam
penerapan asas ini perlu dirujuk Pasal 7 ayat (1) jo ayat (4) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
c. Asas Lex
specialis derogat legi generali.
Berbeda dengan asas lex superiori
derogat legi inferiori, asas lex specialis derogat legi generali ini
mengatur tentang dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis
mempunyai kedudukan yang sama, misalnya Undang-undang dengan Undang-undang.
Perbedaannya hanya pada ruang lingkup materi muatannya yang tidak sama, yaitu yang
satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain. Misalnya antara UU
Advokat dengan UU Bantuan Hukum, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 24 UU
Bantuan Hukum yang menjelaskan: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bantuan Hukum
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini. Akan tetapi, tidak semua peraturan perundang-undangan
menyebutkan posisinya sebagaimana ketentuan-ketentuan transitor tersebut. Dalam
hal demikian, harus di identifikasi ruang lingkup materi muatan kedua peraturan
perundang-undangan.
d. Asas Lex
posterior derogat legi priori.
Peraturan Perundang-undangan yang lahir
kemudian menyisihkan Peraturan Perundang-undangan yang lahir sebelumnya. Asas
ini berkaitan dengan dua Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah
yang sama, misalnya UU Advokat dengan UU Bantuan Hukum. Sebagaimana yang
terjadi pada asas lex specialis derogat legi generali, penggunaan asas
ini mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah dua Peraturan
Perundang-undangan dalam hierarki yang sama.
Asas ini dapat
dipahami bahwa, peraturan perundang-undangan yang baru lebih mencerminkan
kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Jika sebaliknya, peraturan
perundang-undangan yang baru tidak memuat ketentuan yang dibutuhkan untuk
situasi yang sedang dihadapi, dan ketentuan itu justru termuat dalam peraturan
perundang-undangan yang telah digantikan, maka harus dilihat dahulu apakah
ketentuan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang lama tersebut
tidak bertentangan dengan landasan filosofis peraturan perundang-undangan yang
baru. Jika tidak, maka harus dinyatakan bahwa ketentuan itu tetap berlaku
melalui aturan peralihan Peraturan Perundang-undangan yang baru. Dalam hal ini
perlu dipelajari landasan filosofis dari setiap Peraturan Perundang-undangan
yang diacunya.
1.4. Kesimpulan.
Berdasarkam
analisa diatas maka diuraikan beberapa kesimpulan Salah satu kewajiban yang
diatur dalam pasal 22 ayat (1) UU Advokat yang menjelaskan: Advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu, selanjutnya ketentuan ayat (2) yang pada pokoknya menjelaskan kewajiban
pemberian bantuan hukum. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma yang menjelaskan; Advokat
wajib memberikan bantuan hukum secara cuma‑cuma kepada pencari keadilan.UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang di sahkan
tanggal 4 Oktober 2011 terdapat pengertian menurut UU Bantuan Hukum
secara jelas menurut hukum. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Bantuan
hukum merupakan pekerjaan jasa yang bersifat professional yang berarti bahwa
untuk melakukan pekerjaan tersebut diperlukan suatu pendidikan khusus dan
keahlian khusus.
Perlindungan
hukum diatur UU No. 16 Tahun 2011 dalam pemberian
bantuan hukum hanya melindungi Pemberi bantuan hukum secara korporasi bukan
secara individual pemberi bantuan hukum. Kontradiksi kewenangan antara advokat
dan pemberi bantuan hukum yang notabene
bukanlah seorang advokat, sementara kode etik Advokat tersebut mengatur dan
menjadi pedoma bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Pemberi bantuan hukum
dalam UU Bantuan Hukum secara sukarela tunduk pada kode etik advokat, tentunya
akan mejadi masalah besar di kemudian hari jika pedoman dasar dalam menjalankan
profesi tersebut dilakukan oleh orang yang bukan advokat. UU bantuan hukum
mengatur secara tegas pemberi bantuan hukum merupakan oraganisai berbadan hukum
bukan perorangan (in person)
[1] YLBHI dan PSHK, “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia” Edisi
2006, AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF. 2006, Hal 47.
[2] Bambang Sunggono, Aries
Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju,
2009), hal. 9.
[3] Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2000), hal. 333.
[4] Bambang Sunggono, Aries
Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju,
2009), hal. 9.
[5] Yahya Harahap, op. Cit. hal. 333.
[6] Valerie Miller dan Jane Covey, Pedoman
Advokasi: Kerangka Kerja untuk Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 12
[7] Bambang Sunggono, Aries
Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju,
2009), hal. 10.
[8] Ibid.
[9]
Ibid Hal 4.
[10]
Ibid
[11] Bambang Sunggono, Aries
Harianto, Op. Cit, Hal 4
[12]
Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Soerjono Soekanto, Bantuan
Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),
hal. 27.
[16] The Indonesian Legal Resource
Center (ILRC), Pendidikan Hukum Klinik, Tinjauan Umum, Mitra Pembaharuan
Pendidikan Hukum Indonesia. 2009. Hal 3.
[17]
http://advokatgunawanrekan.blogspot.com/2009/02/, sejarah – singkat – kedudukan
- advokat-di.html. 10/5/2012 jam 5.27.
[18] Sukris Sarmadi.Advokat, Litigasi & Non lItigasi
Pengadilan Menjadi Advokat Indonesia Kini, Bandung, Mandar Maju, 2009, hal
1.
[19] http://advokatgunawanrekan.blogspot.com/2009/02/,
sejarah – singkat – kedudukan - advokat-di.html. 10/5/2012 jam 5.27..
[20] Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
[21] Abdul Ghofur
Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta 2006, Hal 9.
[22] Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing. Malang 2008. hal 313.